Hal tersebut terlihat dari hasil pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang mengarah pada pencabutan tarif balasan secara mutual untuk periode sementara 90 hari.
"Ketahanan sektor eksternal Indonesia tercermin dari surplus perdagangan yang terus berlanjut, dengan surplus kuartal I 2025 naik menjadi USD$10,92 miliar dari US$7,41 miliar pada kuartal 1 2024. Hal ini menunjukkan bahwa neraca transaksi berjalan tetap berada dalam posisi relatif stabil," jelasnya.
Selain itu, data inflasi Amerika Serikat baik dari sisi penawaran maupun permintaan sedang menunjukkan tren penurunan. Sehingga memperkuat argumen bagi The Fed untuk memulai pemangkasan suku bunga kebijakan Federal Funds Rate (FFR).
Hal ini memicu sentimen risk-on di pasar keuangan global dengan mendorong aliran modal masuk ke pasar emerging markets, termasuk Indonesia. Di mana, aliran modal asing di pasar keuangan domestik terefleksi dari penguatan nilai tukar rupiah sebesar 0,98% mtd (month-to-date) per 16 Mei 2025 yang membawa nilai tukar di bawah Rp16.500/US$.
"Jika ketidakpastian global terus mereda dan kondisi eksternal membaik lebih lanjut, kami memperkirakan adanya pergeseran strategis dalam sikap kebijakan BI. Kami melihat ruang untuk pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) lagi pada sisa tahun 2025, yang berpotensi menurunkan suku bunga BI menjadi 5,25%," pungkasnya.
(lav)





























