Dikonfirmasi secara terpisah, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan sudah menyampaikan surat keberatan atas kenaikan ekspor CPO kepada Kemenkeu.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan saat ini pihaknya tengah menunggu tanggapan dari Kemenkeu apakah surat keberatan tersebut disetujui.
"Sudah [disampaikan] saat Jumat minggu lalu, kita sedang menunggu respons dari Kemenkeu apakah disetujui," ujar Eddy kepada Bloomberg Technoz.
GAPKI menilai keputusan pemerintah kembali menaikkan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya terkesan terburu-buru.
Hal tersebut lantaran dilakukan di tengah gejolak perang dagang akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), yang juga kemungkinan akan mempengaruhi industri negara produsen CPO seperti Indonesia, termasuk negara produsen lain.
"Jadi, saya kira harusnya tidak dilakukan sekarang. Harusnya menunggu sampai 2 bulan, atau terjadi kesepakatan perdagangan perundingan tarif ke US, sehingga respons lebih akurat," ujar Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI Fadhil Hasan saat dihubungi, Kamis (15/5/2025).
Aplagi, menurut Fadhil, pemerintah melalui Kementerian Keuangan kemarin hanya menaikkan pungutan ekspor saja, tidak berbarengan dengan penyesuaian tarif bea keluar (BK).
Padahal, kata dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah menjanjikan jika pemerintah menaikkan PE CPO, harus dibarengi juga dengan penyesuaian tarif BK.
Indonesia resmi menaikkan tarif pungutan ekspor (PE) untuk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya menjadi sebesar 10% dari harga referensi CPO yang diatur Kementerian Perdagangan. Sebelumnya, tarif PE CPO yang berlaku adalah sebesar 7,5% dari harga referensi.
Adapun, ketentuan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025, sebagai bagian dari tujuan peningkatan produktivitas perkebunan sawit dalam negeri.
Adapun, tarif PE CPO yang baru tersebut berlaku efektif per 17 Mei 2025, alias 3 hari sejak tanggal diundangkan pada 14 Mei 2025.
(ell)





























