Eddy menuturkan perlu komitmen yang kuat untuk mencapai emisi net zero pada 2060 mendatang di tengah target bauran energi terbarukan RI saat ini baru mencapai 19%.
Pemerintah, kata dia, bisa mengupayakan hal itu dengan melakukan elektrifikasi di sektor transportasi publik seperti menambah armada bus umum listrik dan memperluas wilayah operasinya sehingga mengalihkan masyarakat dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Selain itu, di sektor rumah tangga pemerintah bisa menghapus ketergantungan RI terhadap impor LPG yang digunakan untuk memasak.
Eddy menegaskan MPR akan terus mengawal kebijakan energi nasional agar selaras dengan amanat konstitusi, khususnya terkait keadilan sosial dan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Transisi energi harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan seluruh pihak, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ini adalah investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Impor BBM dari AS
Dalam perkembangan terbaru, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mematikan Indonesia akan menghentikan impor BBM dari Singapura dan mengalihkannya ke negara lain seperti AS hingga Timur Tengah.
“Bukan kata mungkin lagi nih, sudah hampir pasti. Jadi kita akan mengambil minyak dari negara lain, yang bukan dari negara itu [Singapura]. [Impor] salah satu negaranya AS,” kata Bahlil ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (9/5/2025)
Rencana tersebut akan dieksekusi dalam waktu enam bulan ke depan, sembari saat ini Pertamina tengah membangun dermaga agar dapat menampung kapal yang besar lagi.
"Kalau [impor] dari Singapura kan kapalnya yang kecil-kecil. Itu juga salah satu alasan. Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali angkut, enggak ada masalah. Maka, pelabuhan yang lebih besar dan kedalamannya harus dijaga," ujarnya.
Dia menyebutkan saat ini porsi impor dari Singapura sebesar 54%—59% dari total konsumsi BBM Indonesia, yang ditaksir mencapai 1,6 juta barel per hari per 2024.
Bukan tidak mungkin, tegas Bahlil, ke depannya tidak ada impor BBM sama sekali oleh Indonesia dari Negeri Singa, yang dinilainya cenderung lebih mahal sekalipun jaraknya lebih dekat.
Namun, pengurangan volume impor tersebut menurutnya akan dilakukan secara bertahap. “Bertahap ya. Tahap sekarang mungkin bisa sampai 50% mungkin suatu saat akan nol,” tuturnya.
Bahlil menjelaskan pengalihan impor BBM dari Singapura ke AS juga merupakan bagian dari upaya negosiasi untuk menghindari pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.
“Mengalihkan sebagian bukan semuanya, kan kita sudah mempunyai perjanjian dengan Amerika. Salah satu di antara yang kita tawarkan itu adalah kita harus membeli beberapa produk dari mereka. Di antaranya adalah BBM, crude [minyak mentah], dan LPG [gas minyak cair],” jelas Bahlil.
Menurut dia, alasan pemerintah mengalihkan impor BBM dari Singapura ke AS di antaranya karena persoalan geopolitik dan geoekonomi. “Kita kan harus juga membuat keseimbangan bagi yang lain."
(ell)
































