Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia sampai akhir April. Sesuai prediksi, nilai cadangan devisa RI ambrol cukup dalam hingga menyentuh level terendah sejak November tahun lalu.
Posisi cadangan devisa per akhir April mencapai US$ 152,5 miliar, tergerus hingga US$ 4,6 miliar dibanding posisi bulan sebelumnya. Level tersebut menjadi posisi cadev RI terendah sejak November tahun lalu yang sebesar US$ 150,24 miliar.
Bank Indonesia menjelaskan, penurunan posisi cadev itu dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah selama bulan lalu.
Pasar merespons data itu dengan reaksi beragam. Rupiah yang dibuka melemah pagi tadi, kini justru berbalik menguat menjadi valuta Asia dengan penguatan terbanyak di Asia pada pukul 10:49 WIB di level Rp16.490/US$.
Rupiah menguat bersama rupee, baht, yen serta dolar Taiwan. Namun, mayoritas mata uang Asia masih tertekan oleh dolar AS sejak pagi tadi dipimpin oleh ringgit, bersama won, peso juga dolar Hong Kong serta yuan dan dolar Singapura.
Sementara indeks saham yang pagi tadi dibuka menguat, malah kini terpelanting ke zona merah dengan tergerus 0,8% ke level 6.871.
Terpelesetnya IHSG ke zona merah menjegal reli yang telah berlangsung selama delapan hari perdagangan tanpa putus.
Beberapa saham banyak dilepas di antaranya BBRI, BMRI, AMMN, BYAN, ANTM juga BBCA dan KLBF. Sementara saham penggerak indeks di antaranya DSSA, GOTO, AMRT, BREN serta ASII.
Pelemahan indeks saham hari ini berlangsung ketika sebagian besar bursa di Asia masih bergerak menguat seperti Nikkei, Kospi juga Hang Seng. Pelemahan IHSG berlangsung bersama indeks saham Malaysia, Singapura juga Filipina dan Thailand.
Adapun harga surat utang pemerintah, masih stabil. Mayoritas tenor menunjukkan penurunan yield terbatas yang mencerminkan kenaikan harga obligasi negara.
Yield 5Y turun 1,1 bps ke level 6,561%. Sementara tenor 10Y turun 19 bps kini di level 6,843%. Tenor pendek 2Y hanya bergerak sedikit dengan penurunan imbal hasil 0,7 bps di level 6,373%.
Masih memadai
Bank Indonesia menjelaskan walau terjadi penurunan posisi cadev pada April, nilai saat ini masih memadai karena setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia
Ramdan Denny Prakoso.
Ke depan, Bank Indonesia memandang posisi cadangan devisa memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus, serta persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.
"Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," kata Ramdan.
Risiko defisit fiskal
Perekonomian Indonesia bukan cuma menghadapi pelemahan akibat ketegangan perdagangan global. Kelesuan dunia usaha dan konsumsi domestik yang sudah berlangsung sejak beberapa waktu belakangan telah menyeret penerimaan pajak.
Penerimaan pajak Indonesia sampai akhir April lalu terungkap makin ambles. Sampai posisi akhir April, seperti diungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR-RI kemarin, penerimaan pajak neto RI turun sekitar 42,9% year-on-year pada April, yaitu menjadi senilai Rp126,36 triliun.
Hal itu bisa membuat penerimaan pajak neto pada empat bulan tahun ini menjadi sebesar Rp451,11 triliun, ambles sekitar 27,7% dibanding empat bulan tahun sebelumnya.
Dibandingkan target penerimaan pajak tahun ini yang sebesar Rp2.189,3 triliun, Direktorat Pajak (DJP) hanya mampu merealisasikan 20,61% dari target itu.
"Secara hipotetis, DJP menghadapi kekurangan penerimaan pajak hingga sebesar Rp236 triliun!," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi, dalam analisis yang diterima Bloomberg Technoz.
Menurut perhitungan Lionel, bila Pemerintah RI masih ngotot mempertahankan belanja di angka Rp3.621,31 triliun, maka defisit fiskal Indonesia tahun ini bisa membengkak hingga -3,50% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, pembiayaan obligasi neto juga akan meningkat menjadi Rp878,56 triliun. Sementara penerbitan obligasi bruto akan menembus Rp1.600 triliun.
"Dalam kondisi itu, Indonesia sudah pasti akan menghadapi penurunan peringkat yang diikuti oleh kenaikan yield overshoot hingga 100-150 basis poin," kata Lionel.
Kondisi tidak menguntungkan itu bisa dihindari apabila Pemerintah RI menempuh langkah-langkah penghematan sebesar Rp150 triliun hingga Rp160 triliun yang dikombinasikan dengan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang cukup besar, minimal sebesar Rp100 triliun untuk mempertahankan yield SBN 10Y di bawah 7%.
"Kebijakan itu akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi lebih rendah, diperkirakan hanya sebesar 4,5%. Bagaimanapun pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak dapat diselamatkan akibat serangan tarif Presiden AS Donald Trump," kata Lionel.
(rui)