Saat ini, Ryanair mengoperasikan lebih dari 600 armada pesawat Boeing 737. Menurut O’Leary, pesanan mereka ke produsen asal AS tersebut bernilai lebih dari US$33 miliar, dengan pengiriman dijadwalkan hingga satu dekade ke depan.
Para eksekutif industri penerbangan kini berlomba mencari cara untuk menghindari beban biaya tambahan akibat tarif. Beberapa maskapai bahkan menolak membayar tarif tersebut. Bloomberg sebelumnya melaporkan bahwa Delta Air Lines Inc mengalihkan jalur pengiriman pesawat dari Airbus—yang berbasis di Eropa—melalui Tokyo demi menghindari tarif AS.
Hingga saat ini, China menjadi satu-satunya pasar besar yang telah membalas kebijakan tarif dengan menaikkan biaya impor barang dari AS. Namun dampak dari kebijakan tersebut mulai terasa dalam rantai pasok global. Potensi aksi balasan lanjutan—seperti dari Uni Eropa—juga mulai mengganggu permintaan pasar terhadap pesawat baru.
Dalam surat yang sebelumnya juga dilaporkan oleh Reuters, O’Leary menekankan pentingnya menjaga biaya operasional serendah mungkin untuk maskapai bertarif rendah terbesar di Eropa. “Ini sangat vital bagi model bisnis kami,” tegasnya.
Meski Ryanair belum menjalin diskusi pembelian pesawat dengan Comac—resmi bernama Commercial Aircraft Corp. of China—sejak sekitar tahun 2011, O’Leary menyebut bahwa opsi itu tetap terbuka jika syarat dan harganya lebih menguntungkan.
“Sudah menjadi tanggung jawab Boeing dan pemerintah AS untuk memastikan bahwa produk hebatnya tetap bersaing dari sisi harga,” tutupnya.
(bbn)






























