Meski demikian, lembaga pemeringkat global yang disegani itu menilai beberapa perusahaan di Indonesia tidak steril sama sekali dari volatilitas rupiah dan risiko pasar obligasi mancanegara. Itu terutama akan dialami oleh korporasi dengan utang dolar AS yang jatuh tempo dalam waktu dekat, juga bagi perusahaan yang memiliki ketergantungan impor tinggi.
Menurut S&P, perusahaan-perusahaan tersebut di antaranya yang berkiprah di sektor real estate, maskapai penerbangan, juga sektor-sektor padat energi yang menjual sahamnya di pasar domestik.
Pelemahan rupiah yang terjadi lebih gradual juga dinilai memberikan waktu bagi perusahaan untuk menyesuaikan basis biaya, harga serta memberi pelanggan waktu untuk menterap biaya lebih tinggi.
Beban utang valas korporasi
Pandangan S&P itu tidak terlalu berbeda dengan penilaian terbaru oleh Fitch Ratings yang dirilis sebelumnya.
Fitch menilai, depresiasi rupiah saat ini belum cukup besar untuk menimbulkan masalah yang signifikan bagi korporasi. Penurunan lebih lanjut pada rupiah juga diperkirakan potensinya minim.
Fitch memandang, dampak pelemahan rupiah terhadap perbankan juga masih belum mengkhawatirkan. Depresiasi rupiah dinilai tidak akan menekan perbankan nasional karena ketidakseimbangan antara pinjaman valas dengan simpanan valas terbilang minim.
Namun, Fitch memandang, bank lebih mungkin terkena dampak dari sisi efek depresiasi rupiah terhadap debitur serta kualitas aset.
Hanya saja, upaya penggalangan dana di pasar mancanegara dalam bentuk obligasi dolar AS mungkin akan lebih menantang di tengah ketidakpastian global.
Situasi tersebut mengurangi fleksibilitas korporasi yang tidak memiliki rekam jejak penerbitan obligasi lokal dan hubungan dengan perbankan domestik yang luas, menurut Fitch.
Mengacu data Bloomberg, penerbitan obligasi dolar AS oleh perusahaan Indonesia telah mencapai US$ 2,3 miliar pada tahun lalu, terus melambat setelah mencapai titik terendah sejak krisis 2008 pada tahun 2023 silam.
Peminjam yang berutang melalui obligasi domestik (rupiah) meningkat jadi Rp143 triliun pada 2024. "Meski penerbitan obligasi dolar AS melambat, likuiditas dan biaya pendanaan dalam sistem perbankan domestik telah membaik secara substansial sejak 2022 sehingga mengurangi risiko likuiditas dan pembiayaan kembali, jelas S&P.
(rui)





























