Logo Bloomberg Technoz

Di Asia pagi ini, beberapa mata yang sudah diperdagangkan bergerak lemah dipimpin oleh won Korsel yang ambles nilainya hingga 0,83%, lalu baht 0,5%, ringgit 0,36% dan yen 0,08%. Sementara dolar Singapura bersama yuan offshore hanya menguat tipis 0,05% dan 0,01%.

Penguatan lagi indeks dolar AS di zona 100, dilatarbelakangi oleh sedikit berkurangnya ekspektasi pasar akan potensi pemangkasan bunga acuan Federal Reserve, menyusul data aktivitas pabrik di AS yang tidak seburuk perkiraan. 

Yield Treasury tenor 2 tahun yang sensitif terhadap kebijakan bunga acuan, melonjak hingga 12 basis poin pada Kamis. Para traders kini memperhitungkan pemangkasan Fed fund rate sebesar 91 basis poin, turun dibanding sebelumnya 107 basis poin.

Pelaku pasar global mendapati, aktivitas pabrik di Negeri Paman Sam pada April menyusut dengan penurunan terdalam lima bulan terakhir. Pesanan yang lemah dan dampak lanjutan dari kebijakan tarif menyebabkan kontraksi output paling tajam sejak 2020.

Data yang dirilis Kamis kemarin oleh Institute for Supply Management (ISM) mencatat, indeks manufaktur turun 0,3 poin menjadi 48,7. Indeks produksi bahkan merosot lebih dari 4 poin ke level 44. Angka di bawah 50 menunjukkan sektor mengalami kontraksi. Sementara itu, harga bahan baku justru meningkat tipis.

Namun, meski terjadi penyusutan nan dalam, angka yang diumumkan lebih baik ketimbang ekspektasi pasar sebelumnya.

Pasar akan beralih mencermati laporan pekerjaan di AS, job's report, yang mungkin akan menggambarkan dampak tarif ke pasar tenaga kerja di level awal.

Kelesuan manufaktur mungkin berpengaruh terhadap rekrutmen tenaga kerja di mana konsensus pasar memperkirakan akan ada penambahan pekerjaan sebanyak 138.000, susut dibanding bulan Maret di mana NonFarm Payroll bertambah 228.000 pekerjaan.

Kontraksi Manufaktur

Aktivitas manufaktur Indonesia melemah pada April. Dari zona ekspansi, aktivitas manufaktur Tanah Air merosot ke zona kontraksi.

Pada Jumat (2/5/2025), S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia sebesar 46,7 untuk periode April. Melorot signifikan ketimbang Maret yang mencapai 52,4.

PMI di bawah 50 mengindikasikan aktivitas yang berada di fase kontraksi, bukan ekspansi. Aktivitas manufaktur Ibu Pertiwi mengalami kontraksi untuk kali pertama dalam 5 bulan terakhir.

“Terjadi kontraksi di sektor manufaktur Indonesia pada April, dengan penurunan tajam baik di sisi produksi maupun volume pemesanan baru (new orders). Merespons pelemahan ini, pelaku usaha mengurangi pembelian bahan baku dan tenaga kerja,” ungkap keterangan S&P Global.

Penurunan indeks PMI itu menjadi yang paling tajam sejak Agustus 2021.

S&P menilai dalam jangka pendek, outlook masih mendung karena pelaku usaha memilih untuk mempertahankan kapasitas yang ada, menunjukkan tidak ada ekspansi untuk bulan-bulan ke depan.

“Akan tetapi, outlook untuk tahun ini masih positif. Pelaku usaha masih memperkirakan terjadi kenaikan produksi seiring perbaikan kondisi ekonomi dan daya beli. Namun, kapan waktu pemulihan itu terjadi agak memudar,” kata Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence.

Hari ini di dalam negeri, para pelaku pasar domestik juga akan mencermati rilis data inflasi April oleh Badan Pusat Statistik, yang dilangsungkan tepat saat bursa modal mulai dibuka.

Hasil konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg sampai pagi ini, memperkirakan pada April terjadi inflasi 1,02% month-on-month di Indonesia, melandai setelah musim Lebaran berlalu yang mencatat inflasi Maret 1,65%.

Sedangkan dibanding April tahun lalu, inflasi diperkirakan  sebesar 1,5%, lebih tinggi ketimbang Maret di angka 1,03%. Inflasi inti diperkirakan sebesar 2,5%, naik dibanding bulan sebelumnya 2,48%.

Analisis teknikal

Secara teknikal, pasangan USD/IDR memiliki level support sangat kuat di Rp16.500/US$ akan tetapi bisa ditembus. Momentum bearish yang begitu kuat bisa membawa pelemahan dolar AS yang berarti penguatan rupiah menuju Rp16.200/US$.

Rupiah potensial menuju Rp16.500/US$ secara teknikal, hingga ke Rp16.200/US$ (Bloomberg)

(rui)

No more pages