Ini berarti tidak ada solusi cepat untuk tembok tarif yang dibangun antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut, yang akan berdampak pada perdagangan dan pasar global dalam beberapa bulan mendatang. Pada Senin (28/4/2025), Kementerian Luar Negeri China kembali membantah adanya pembicaraan mengenai penghapusan tarif, sementara para pejabat di Beijing mengumumkan kebijakan untuk membantu perusahaan-perusahaan eksportir, termasuk rencana untuk memastikan perusahaan-perusahaan yang bermasalah mendapatkan pinjaman yang mereka butuhkan dan mendorong konsumsi domestik.
"Di balik permukaan, risiko-risiko utama masih tetap ada – ketegangan perdagangan, kekhawatiran resesi, dan ketidakpastian kebijakan moneter masih sangat terasa," kata Fawad Razaqzada dari City Index dan Forex.com.
Pada Senin, saham Boeing Co dan International Business Machines Corp memimpin kenaikan saham-saham unggulan (blue chips), sementara saham Nvidia Corp merosot setelah muncul kabar bahwa Huawei Technologies Co akan menguji coba chip baru. Beberapa perusahaan teknologi raksasa (megacaps) seperti Microsoft Corp, Apple Inc, Meta Platforms Inc, dan Amazon.com Inc dijadwalkan untuk merilis laporan keuangan mereka dalam beberapa hari mendatang. Obligasi pemerintah AS jangka pendek (Treasury) berkinerja lebih baik, sementara nilai tukar dolar AS melemah.
Mulai dari data tenaga kerja hingga inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sejumlah data penting akan dirilis pekan ini. Sebuah laporan dari Federal Reserve Bank of Dallas menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur di Texas, yang menjadi perhatian banyak pihak, mengalami penurunan signifikan. Para eksekutif menggunakan kata-kata seperti "kekacauan" dan "kegilaan" untuk menggambarkan gejolak akibat tarif.
"Ini akan menjadi salah satu pekan tersibuk tahun ini," kata Anthony Saglimbene dari Ameriprise. "Berita utama terkait perdagangan yang terus berkembang, kalender ekonomi yang dipenuhi dengan rilis data penting, dan puncak musim laporan keuangan, termasuk beberapa perusahaan 'Magnificent Seven' yang akan melaporkan hasilnya, akan membuat para investor terus memutar otak."
Meskipun banyak eksekutif enggan memprediksi bagaimana tarif dapat memengaruhi laba bersih perusahaan mereka, Wall Street telah melakukan perhitungan sendiri.
Berdasarkan model tarif 22% yang dibuat oleh Bloomberg Economics, penurunan margin keuntungan kotor dapat mengakibatkan kontraksi laba bersih sekitar 7% pada tahun 2025 untuk indeks S&P 500, dibandingkan dengan perkiraan konsensus saat ini yang hampir mencapai pertumbuhan 12%, tulis kepala strategi ekuitas Bloomberg Intelligence, Gina Martin Adams.
Michael Wilson dari Morgan Stanley mengatakan bahwa pelemahan dolar AS akan mendukung pendapatan perusahaan-perusahaan AS, membantu pasar saham Amerika untuk mengungguli kinerja pasar global lainnya.
Namun, Wilson memperkirakan indeks S&P 500 akan tetap berada dalam kisaran 5.000 hingga 5.500. Kenaikan yang lebih signifikan akan memerlukan kesepakatan tarif dengan China, rebound yang jelas dalam perkiraan pendapatan, dan kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter, tulisnya.
"Kami memperkirakan pasar akan bergerak fluktuatif dalam jangka menengah dan kemungkinan akan bergerak dalam kisaran tertentu sampai ada kejelasan mengenai dampak tarif terhadap pendapatan perusahaan, yang hingga saat ini masih sangat tidak pasti," kata Brian Buetel dari UBS Wealth Management.
Di kawasan Asia lainnya, pemerintah-pemerintah terpaksa merancang ulang kebijakan untuk mencoba meminimalkan dampak tarif AS. Dalam pidatonya di Wellington pada Selasa, Menteri Keuangan Selandia Baru Nicola Willis mengatakan bahwa alokasi anggaran untuk Anggaran 2025, yang akan disampaikan pada 22 Mei, perlu dipangkas karena adanya pemotongan belanja baru.
Sementara itu, harga minyak mengalami penurunan pada Senin (28/4/2025) seiring para pelaku pasar mencerna data ekonomi dari AS.
(bbn)






























