Logo Bloomberg Technoz

Bagaimana pendekatan Trump terhadap Iran?

Menulis di platform Truth Social miliknya pada awal Februari 2025, Trump menyerukan agar proses "perjanjian damai nuklir yang terverifikasi" segera dimulai, tetapi ia tidak memberikan rincian tentang apa saja yang akan tercakup dalam kesepakatan tersebut.

Dia mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Maret. Menurut narasumber yang mengetahui isi suratnya, Trump memberi negara Teluk Persia itu tenggat waktu dua bulan untuk mencapai kesepakatan nuklir baru.

Para pejabat AS dan Iran lalu mengadakan pertemuan pertama mereka dalam beberapa tahun terakhir pada 12 April, dipimpin oleh utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff dan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi. Setelah pertemuan awal di Oman itu, kedua belah pihak sepakat akan melanjutkan pembicaraan tersebut.

Witkoff mengatakan kepada Fox News, pemerintahan Trump akan fokus pada pembatasan kemampuan rudal dan pengayaan uranium Iran daripada membongkar seluruh program nuklirnya. Pendekatan ini akan menyingkirkan kelompok garis keras AS dan Israel yang mendesak menghentikan seluruh aktivitas pembuatan bahan bakar nuklir.

Iran mengoperasikan sejumlah fasilitas nuklir. (Bloomberg)

Tidak jelas bagaimana AS akan bereaksi jika kesepakatan tidak tercapai, tetapi Trump menegaskan kembali ia akan mempertimbangkan tindakan militer untuk menghentikan Iran mendapatkan senjata nuklir. Bloomberg melaporkan, pemerintahannya bekerja sama dengan Israel dalam skenario serangan potensial jika diplomasi gagal.

Saat pemerintah AS berdialog dengan Iran, Trump secara bersamaan menghidupkan kembali kebijakan masa jabatan pertamanya, yakni memberi tekanan maksimum pada negara tersebut.

Ia mengintruksikan Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri untuk memastikan implementasi yang lebih keras daripada sanksi-sanksi yang sudah ada, dengan tujuan mendorong ekspor minyak Iran ke titik nol.

AS tidak pernah sepenuhnya mampu membatasi pengiriman minyak mentah Iran. Selama masa jabatan Trump sebelumnya di Gedung Putih, ekspor memang turun, menjadi rata-rata sekitar 400.000 barel per hari pada 2019 dan 2020, dari lebih dari 2 juta barel per hari selama sebagian besar tahun 2018, berdasarkan data pelacakan kapal tanker yang dikumpulkan Bloomberg.

Namun, produksi minyak kembali melonjak menjadi sekitar 1,6 juta barel per hari selama pemerintahan Presiden Joe Biden, di tengah penghindaran sanksi dan penegakan hukum AS yang kurang ketat.

Jika ekspor tersebut dibatasi sekali lagi, ini akan mengikis pendapatan minyak tahunan sebesar US$53 miliar yang diperoleh Pemerintah Iran, sesuai estimasi Badan Informasi Energi AS, sehingga akan membebani perekonomian.

Apa yang dilakukan Iran untuk mengumpulkan bahan pembuat bom?

Perjanjian nuklir penting tahun 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama, disetujui oleh Iran, lima anggota tetap Dewan Keamanan Nasional, dan Jerman.

Berdasarkan kesepakatan itu, Teheran berjanji tidak akan memperkaya uranium melebihi 3,7% selama 15 tahun. Ambang batas ini merupakan konsentrasi isotop fisil uranium-235 yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.

Iran juga berjanji akan membatasi persediaan uranium yang diperkaya hingga 300 kilogram (661 pon), atau sekitar 3% dari jumlah yang dimilikinya sebelum kesepakatan tersebut dicapai.

Menurut para inspektur dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA)—pengawas nuklir PBB—Iran sudah mematuhi ketentuan dari perjanjian itu saat AS menarik diri dari kesepakatan tersebut pada masa jabatan pertama Trump. 

Pada saat itu, pembatasan upaya pengayaan atom Iran berarti mereka membutuhkan waktu 12 bulan untuk menghasilkan bahan fisil yang cukup untuk bahan bakar senjata nuklir.

Setahun setelah AS keluar dari perjanjian itu dan memberlakukan kembali sanksi—yang menolak Iran mendapat manfaat ekonomi yang dijanjikan dari kesepakatan itu—Teheran mulai meningkatkan kembali program nuklirnya.

Mereka tidak hanya kembali memperkaya uranium hingga 20%, tetapi untuk pertama kalinya juga meningkat hingga 60%, tingkat kemurnian yang menurut IAEA secara teknis tidak bisa dibedakan dari bahan bakar kelas senjata.

Menurut data IAEA, para insinyur Iran kini memproduksi uranium yang diperkaya 60% setara dengan satu bom per bulan. Pada Februari, laporan IAEA mencatat bahwa persediaan uranium yang sangat diperkaya di negara itu sudah meningkat sebesar 50% selama tiga bulan sebelumnya, menjadi 275 kilogram.

Cadangan uranium yang diperkaya 60% di Iran mencapai 275 kg pada Februari 2025. (Bloomberg)

Material itu bisa dengan cepat diperkaya hingga tingkat 90% yang ditemukan di sebagian besar senjata nuklir, untuk kemudian menghasilkan 15 hingga 25 kilogram bahan bakar yang digunakan dalam hulu ledak sederhana.

Namun, Iran masih harus menguasai proses persenjataan bahan bakar untuk menciptakan perangkat yang dapat dioperasikan dan mampu mengenai target jarak jauh.

Kemampuan negara yang terus berkembang ini muncul saat pengawasan Dewan Keamanan PBB terhadap aktivitas nuklir Iran akan berakhir pada Oktober. Karenanya, mekanisme "snapback" untuk memberlakukan kembali sanksi dicabut berdasarkan JCPOA.

Mengapa pengayaan uranium sangat penting?

Memperoleh bahan yang diperlukan untuk menginduksi fisi atom merupakan langkah tersulit dalam proses pembuatan tenaga nuklir atau bom. Negara-negara perlu mengembangkan infrastruktur industri untuk memproduksi isotop uranium-235, yang terdiri kurang dari 1% materi dalam bijih uranium, tetapi merupakan kunci untuk mempertahankan reaksi berantai fisi.

Ribuan sentrifugal yang berputar dengan kecepatan supersonik digunakan untuk memisahkan material tersebut. IAEA memperhitungkan perubahan tingkat gram dalam persediaan uranium di seluruh dunia untuk memastikan uranium tidak dialihkan untuk senjata.

Iran selalu bersikukuh mereka mengejar energi nuklir, bukan senjata nuklir, tetapi kekuatan dunia meragukan klaim tersebut. Iran sudah membangun fasilitas bawah tanah yang diperkuat baja di dua lokasi pengayaan utama di Fordow dan Natanz, sehingga lebih sulit menjadi sasaran serangan udara.

Dalam penilaian ancaman tahunan yang dilakukan oleh komunitas intelijen AS dan diterbitkan pada Maret 2025, disimpulkan bahwa Iran saat ini tidak sedang membangun senjata nuklir, tetapi tekanan untuk melakukannya mungkin meningkat pada kepemimpinan negara tersebut.

Apa lagi yang dibutuhkan Iran agar mampu meluncurkan senjata nuklir?

Selain bahan fisil, ada juga mekanisme bom dan cara untuk mengirimkannya. Kemungkinan besar Iran sudah memiliki pengetahuan teknis untuk memproduksi alat peledak rakitan sederhana, seperti yang dijatuhkan AS di Hiroshima, Jepang pada tahun 1945. 

Seorang pilot Iran harus selamat dari serangan ke wilayah musuh untuk bisa mengirimkannya. Sebagai alternatif, perangkat keras itu bisa dimasukkan ke dalam kontainer yang dikirim melalui darat atau dikemas di atas kapal.

Untuk menyerang target jarak jauh, Iran membutuhkan hulu ledak yang cukup kecil untuk dipasang di atas salah satu rudal balistiknya dan bisa bertahan saat masuk kembali ke atmosfer Bumi. Teheran belum melakukan uji coba yang menunjukkan mereka tahu cara membuat hulu ledak nuklir.

Iran meneliti cara merakit perangkat semacam itu hingga tahun 2003. Menurut laporan intelijen AS, mereka mungkin belum melanjutkan penelitian tersebut.

Perkiraan waktu yang dibutuhkan Iran untuk menyelesaikan aktivitas yang diperlukan berkisar antara empat bulan hingga dua tahun. Rudal balistiknya yang paling kuat diperkirakan memiliki jangkauan hingga 5.000 kilometer (3.100 mil), sehingga mampu mejangkau seluruh Eropa.

Mungkinkah Israel menyerang fasilitas nuklir Iran?

Israel sudah lama menganggap kemungkinan Iran bersenjata nuklir sebagai risiko eksistensial, dan berusaha membatasi ambisinya dengan kekerasan. Israel disebut berada di balik pembunuhan enam ilmuwan nuklir Iran di Teheran sejak tahun 2010, dan beberapa serangan terhadap fasilitas nuklir di dalam negera itu.

Para pejabat Israel berulang kali menyiratkan bahwa jika Iran mencapai ambang batas kemampuan senjata, mereka akan menyerang program nuklirnya menggunakan kekuatan udara. Negara Zionis itu menguji rencananya dalam simulasi perang yang disebut Chariots of Fire pada tahun 2022.

Meski Israel berhasil menghancurkan reaktor nuklir Irak yang sedang dibangun pada tahun 1981 dan mengebom infrastruktur nuklir Suriah yang diduga pada tahun 2007, tantangan yang ditimbulkan oleh Iran jauh lebih besar.

Nuklir Iran. (Dok: Bloomberg)

Fasilitas nuklir Iran begitu banyak, sehingga para pejabat intelijen memperingatkan bahwa serangan hanya akan menunda, bukan menghancurkan kemampuan negara itu dalam mengumpulkan teknologi yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir.

Selain itu, serangan apa pun akan menjadi rumit karena jet-jet tempur Israel paling canggih memerlukan pengisian bahan bakar udara untuk menyerang Iran dan kembali ke rumah dengan selamat.

Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi mengatakan Iran menutup sementara fasilitas nuklirnya sebagai langkah keamanan menyusul serangan rudal pertamanya ke Israel pada April 2024. Grossi mengaku selalu khawatir akan kemungkinan serangan Israel ke situs nuklir Iran, dan menyerukan "penahanan diri yang ekstrem."

(bbn)

No more pages