Logo Bloomberg Technoz

Adapun saham teknologi yang melaju pesat adalah, saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) melejit 19,99%, saham PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) melesat dengan kenaikan 4,94%. Begitu juga dengan saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) menguat 2,92%.

Senada dengan saham barang baku, saham PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) menguat 11,8%, saham PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) terangkat 4,38% dan saham PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) melesat 3,58% yang juga turut mendukung penguatan IHSG

Berseberangan jauh dengan IHSG, indeks saham LQ45 yang berisikan saham-saham unggulan justru melemah dan menetap di zona merah, tertekan 3,16 poin (0,44%) ke posisi 708,51.

Saham BRIS Melemah Tajam 9% pada Kamis 20 Maret 2025 (Bloomberg)

Saham-saham LQ45 yang bergerak pada teritori negatif antara lain, saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) ambles 9% saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) terpeleset 3,75%. Saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) melemah 2,95%, dan saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) drop 2,88%.

Investor masih gelisah terhadap tekanan jual investor asing di saham-saham Indonesia, kemarin, Rabu (19/3/2025), meski IHSG sudah menguat dan rebound cepat, investor asing masih gencar melangsungkan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp965,1 miliar pada perdagangan saham di pasar reguler. Sama halnya, di seluruh pasar investor asing juga mencatat net sell hingga Rp910,3 miliar.

Mengutip paparan Head of Research CGS Sekuritas Indonesia, Hadi Soegiarto, terdapat enam faktor utama yang menjadi pertimbangan investor asing dalam menarik dana mereka dari pasar modal Indonesia. Kesimpulan ini diambil usai CGS International menggelar Konferensi Online bersama 100 investor regional, di hari insiden trading halt IHSG pada Selasa (18/5/2025) kemarin.

Pertama, spekulasi mengenai potensi perubahan dalam kepemimpinan Ekonomi Indonesia, termasuk rumor terkait pengunduran diri Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Meski spekulasi ini telah dibantah, pasar masih menunjukkan sensitivitas terhadap kemungkinan perubahan dalam kebijakan fiskal dan ekonomi.

Kedua, potensi perubahan manajemen di bank-bank BUMN yang tercatat di BEI. Beberapa bank besar seperti Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI) dijadwalkan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam waktu dekat.

“Pada saat ini, sulit untuk mengatakan di mana perubahan akan terjadi dan apakah kandidat akan menjadi sentimen positif atau negatif bagi pasar” mengutip paparan Hadi dalam risetnya, Kamis.

Ketiga, kebijakan moneter Bank Indonesia yang dinilai masih belum memberikan sinyal pelonggaran yang kuat. Kenaikan suku bunga global serta kebijakan moneter yang lebih ketat berpotensi menekan likuiditas di pasar keuangan dan mengurangi daya tarik aset Indonesia bagi investor asing.

Keempat, ketidakpastian terkait kebijakan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membalikkan sentimen pasar yang negatif.

Karyawan di depan layar indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (18/3/2025). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Pasar masih menunggu langkah konkret dari Pemerintah untuk meningkatkan daya saing investasi dan memperbaiki iklim bisnis di dalam negeri.

Kelima, revisi Undang-undang Militer yang dianggap dapat mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi. Investor asing biasanya menghindari pasar yang memiliki risiko politik tinggi karena dapat berdampak langsung pada stabilitas makro ekonomi.

Keenam, tekanan jual terhadap saham-saham berkapitalisasi besar, baik yang masuk dalam indeks LQ45 maupun di luar indeks tersebut. Beberapa saham seperti DCII, BREN, TPIA, dan BRMS mengalami tekanan jual yang signifikan, yang turut menyeret IHSG ke zona merah. 

“Pergerakan saham-saham ini cukup besar, dan meskipun tidak semua masuk dalam indeks LQ45, dampaknya terhadap IHSG tetap signifikan,” jelas Hadi.

(fad/wdh)

No more pages