Seiring dengan perpanjangan kontrak karya (KK) menjadi IUPK, lanjutnya, penambang-penambang asing tersebut lama-kelamaan tidak lagi dikategorikan sebagai PMA, tetapi penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Di sisi lain, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dahulu dikuasai oleh perusahaan dengan wilayah pertambangan kecil, saat ini sudah menjelma menjadi perusahaan-perusahaan besar dengan wilayah luas seperti halnya pemegang IUPK.
“Sementara itu, ada beberapa PKP2B yang sebetulnya skalanya [besar], malah jadi menurun. Nah ini kan mesti fair kita melihatnya. Sekarang ada yang dikenakan [tarif royalti] 28%, ada yang 7%. Terus kemudian muncul pertanyaan, ‘Loh apa beda saya? Privilege apa yang diberikan kepada saya sehingga saya berbeda?’,” kata Tri.
Dengan demikian, pemerintah mengusulkan agar tarif royalti antara pemegang IUP dan IUPK tidak dipukul rata. Pemegang IUP yang kebanyakan sudah didominasi oleh penambang besar harus disetarakan dengan pemegang IUPK yang selama ini telah membayar tarif royalti maksimal.
“Kalau dahulu [pemegang IUP dan IUPK perbedaannya ada pada] luasan [areal pertambangan yang dikelola], sekarang tidak ada perbedaan. Apa bedanya antara pemegang IUP sama PKP2B generasi satu? [Jadi penurunan tarif royalti bagi pemegang IUPK] ini sebetulnya supaya lebih fair. Kira-kira begitu,” tutur Tri.
CreditSights, bagian dari Fitch Group, menilai PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) hingga PT Indika Energy Tbk (INDY) justru akan lebih diuntungkan dari rencana penyesuaian tarif royalti batu bara yang lebih rendah karena memegang lisensi IUPK.
Indika kemungkinan tidak terpengaruh oleh royalti IUP yang diusulkan lebih tinggi dari IUPK.
“Kami mengakui saat ini situasinya masih dinamis, tetapi untuk saat ini, kami menyambut baik prospek royalti batu bara yang lebih rendah bagi Indika yang dapat mendukung margin dan kemampuan pendanaan belanja modal hijau dengan lebih baik,” ujar analis CreditSights Lakshmanan R dalam laporannya, pekan lalu.
Lebih jauh, Lakshmanan berpandangan tarif royalti pertambangan yang lebih tinggi dapat menghambat laju perluasan kapasitas hilir di seluruh Indonesia. Hal ini pada gilirannya berbenturan dengan fokus hilirisasi komoditas pertambangan dalam jangka panjang di Tanah Air.
Kebijakan tarif ini disebut akan menghambat inisiatif pertumbuhan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dan energi terbarukan Indonesia, yang ambisius karena bergantung pada perluasan hilir Indonesia khususnya tembaga dan nikel.
“Secara keseluruhan, kami yakin perkembangan ini dapat membuat investor berhati-hati terhadap ketidakpastian peraturan yang terus berlanjut di sektor logam dan pertambangan Indonesia,” tutur Lakshmanan.
Berikut perincian usulan perubahan tarif royalti batu bara dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia:
Usulan perubahan tarif royalti batu bara berdasarkan jenis kontrak untuk izin usaha pertambangan:
- Tingkat kalori ≤ 4.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi tarif royalti tidak berubah atau tetap 5%, HBA US$70 ≤ HBA < US$90 tetap 6%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti naik dari 8% menjadi 9%.
- Tingkat kalori > 4.200 – 5.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi royalti tidak berubah atau tetap 7%, HBA US$70 ≤ HBA < US$90 tetap 8,5%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti naik dari 10,5% menjadi 11,5%.
- Tingkat Kalori ≥ 5.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi royalti tidak berubah atau tetap 9,5%, HBA US$70 ≤ HBA < US$90 tetap 11,5%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti tetap di angka 13,5%.
Usulan perubahan tarif royalti batu bara berdasarkan jenis kontrak untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B):
- Tingkat kalori ≤ 4.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi tarif royalti tidak berubah atau tetap 5% dengan penjualan hasil tambang (PHT) sebesar 8,5%. Tarif royalti untuk HBA US$70 ≤ HBA < US$90 dalam revisi tersebut tetap 6% dengan PHT 7,5%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti naik dari 8% menjadi 9% sedangkan untuk PHT turun dari 5,5% menjadi 4,5%.
- Tingkat kalori > 4.200 – 5.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi tarif royalti tidak berubah atau tetap 7% dengan penjualan hasil tambang (PHT) sebesar 6,5%. Tarif royalti untuk HBA US$70 ≤ HBA < US$90 dalam revisi tersebut tetap 8,5% dengan PHT 5%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti naik dari 10,5% menjadi 11,5% sedangkan untuk PHT turun dari 3% menjadi 2%.
- Tingkat kalori ≥ 5.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi tarif royalti tidak berubah atau tetap 9,5% dengan penjualan hasil tambang (PHT) sebesar 4%. Tarif royalti untuk HBA US$70 ≤ HBA < US$90 dalam revisi tersebut tetap 11,5% dengan PHT 2%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti tetap di angka 13,5% dengan PHT tetap 0%.
Usulan perubahan tarif royalti batu bara berdasarkan jenis kontrak untuk eksisting izin usaha pertambangan khusus (IUPK) 28%:
- Tingkat kalori ≤ 4.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi tarif royalti tidak berubah atau tetap 5%. Tarif royalti untuk HBA US$70 ≤ HBA < US$90 dalam revisi tersebut tetap 6%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti naik dari 8% menjadi 9%.
- Tingkat kalori > 4.200 – 5.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi royalti tidak berubah atau tetap 7%, HBA US$70 ≤ HBA < US$90 tetap 8,5%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti naik dari 10,5% menjadi 11,5%.
- Tingkat Kalori ≥ 5.200 untuk HBA < US$70/ton dalam usulan revisi royalti tidak berubah atau tetap 9,5%, HBA US$70 ≤ HBA < US$90 tetap 11,5%. Sementara HBA ≥ US$90 dari revisi PP 26/2022 tarif royalti tetap di angka 13,5%.
(wdh)




























