Seiring berlarut-larutnya kebuntuan ini, Iran meningkatkan stok uranium yang diperkaya dengan kadar mendekati bom, sedangkan Washington terus memperketat sanksinya.
Wakil Menteri Luar Negeri China Ma Zhaoxu memimpin pertemuan hari ini, yang juga dihadiri oleh Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov dan Wakil Menteri Luar Negeri Iran Kazem Gharibabadi. Pertemuan terpisah juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
"Keterlibatan politik dan diplomatik serta dialog berdasarkan prinsip saling menghormati tetap menjadi satu-satunya pilihan yang layak dan praktis," kata Ma kepada wartawan setelah pertemuan tersebut.
Pekan lalu, Trump menegaskan kembali minatnya untuk mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Iran dan memperingatkan bahwa satu-satunya alternatif bagi Republik Islam itu adalah menghadapi aksi militer.
Pertemuan di Beijing ini menyusul berbagai aktivitas diplomatik mengenai program nuklir Iran saat kekuatan dunia berusaha menghindari krisis lain, pada saat perang di Timur Tengah dan Ukraina menimbulkan risiko terhadap harga energi dan ekonomi global.
William Figueroa, asisten profesor di Universitas Groningen Belanda yang mempelajari China dan Timur Tengah, menyebut pertemuan tersebut sebagai "manuver diplomatik." "Ini adalah penolakan keras pada posisi Trump dengan dukungan dari para sekutu," ujarnya, seraya menambahkan bahwa posisi ini tidak mencerminkan perubahan kebijakan.
Iran setidaknya sudah mengadakan dua putaran perundingan nuklir awal dengan para diplomat Inggris, Prancis, dan Jerman di Jenewa beberapa bulan terakhir. Trump juga menulis surat yang ditujukan pada pimpinan Iran yang diterima di Teheran pada Rabu melalui pejabat tinggi Uni Emirat Arab.
Isi surat tersebut tidak diketahui dan belum ada tanggapan resmi.
Titik Kritis
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menolak ajakan Trump untuk melakukan perundingan. Khamenei menyebutnya sebagai "tipu muslihat" yang dirancang agar negaranya semakin terjerumus dalam sanksi yang lebih berat.
Berbagai sanksi terbaru AS pada Iran diumumkan pada Kamis (13/3/2025) dan mencakup sanksi pada Menteri Perminyakan Mohsen Paknejad.
Para partisipan di Beijing menekankan bahwa semua negara harus menjauhkan diri dari tindakan yang akan merusak aktivitas inspeksi para pemantau Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang masih bekerja di Iran. Badan pengawas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini bulan lalu melaporkan adanya lonjakan aktivitas nuklir di Iran selama beberapa bulan terakhir.
"Situasi ini mencapai titik kritis lagi. Kita harus mengulur waktu demi perdamaian, menyelesaikan perselisihan melalui cara-cara politik dan diplomatik, dan menentang penggunaan kekuatan dan sanksi ilegal," kata Yi, yang juga bertemu dengan Ryabkov dan Gharibabadi, kepada wartawan.
Negara-negara Eropa yang menandatangani kesepakatan nuklir 2015 — secara resmi dikenal dengan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan — telah menyiapkan rencana menerapkan kembali Sanksi Dewan Keamanan PBB saat masa berlaku sanksi habis pada Oktober.
Jika mereka melakukannya, Iran sudah memperingatkan mereka bisa keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Keluarnya Iran dari NPT — perjanjian pengendalian senjata utama yang dikembangkan selama Perang Dingin — akan secara signifikan meningkatkan risiko konflik. Pasalnya Teheran tidak lagi terikat oleh inspeksi internasional atau dilarang mengembangkan senjata.
(bbn)




























