Logo Bloomberg Technoz

Bunga SRBI yang makin rendah, kini di 6,40% untuk tenor 12 bulan, membuat daya tarik SBN jadi makin menarik.

Perkembangan terakhir pasar surat utang domestik itu seolah memberi sinyal bahwa kekhawatiran akan defisit fiskal APBN yang langka terjadi di awal tahun, tidak lagi meresahkan pasar.

Namun, bila menilik premi risiko investasi di Indonesia, yang tercermin dari pergerakan harga kontrak Credit Default Swap (CDS) sampai siang ini, terus melesat naik menyentuh level tertinggi dalam 16 bulan terakhir atau sejak November 2023.

Itu berarti, investor masih menilai, risiko investasi di Indonesia masih tinggi sehingga pemilik modal memburu kontrak swap sebagai proteksi dan mitigasi risiko ke depan.

Tingkat imbal hasil atau yield SBN bergerak turun sepanjang tahun ini ketika BI rate dipangkas (Riset Bloomberg Technoz)

Kondisi defisit fiskal akibat anjloknya penerimaan memang memantik peningkatan risiko, termasuk investasi di SBN.

Dalam pada itu, hal paling ditakuti oleh para investor adalah manakala peringkat kredit Indonesia sampai diturunkan oleh lembaga pemeringkat global, karena dianggap tak lagi berkelanjutan buntut dari pengelolaan keuangan negara yang menurun kredibilitasnya atau tidak pasti arahnya.

Namun, "Risiko default atau sampai gagal bayar, terbilang minimal. Yang berisiko [adalah] bila sampai ada downgrade peringkat kredit, market risk di harga jadi besar. Sehingga [memegang surat utang] lalu menjualnya di pasar sekunder, harganya bisa rontok. Sebaliknya, bila memegangnya sampai jatuh tempo, itu aman-aman saja," jelas Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.

Sebagaimana diketahui, berinvestasi di SBN atau obligasi secara umum, memiliki dua pilihan strategi.

Pertama, hold to maturity atau memegangnya sampai jatuh tempo. Dengan cara ini, investor mendapatkan pendapatan tetap dari kupon yang dibagikan setiap periode tertentu dengan tingkat yang sudah ditentukan di awal.

Hold to maturity juga akan lebih menguntungkan ketika pembelian di pasar sekunder dilakukan ketika harga tengah terdiskon, sehingga yield beli yang dikantongi investor jadi lebih tinggi.

Kedua, mengincar capital gain. Selain bisa menikmati pendapatan tetap dari kupon, investor obligasi atau SBN juga bisa meraih untung dari naik turunnya harga obligasi di pasar sekunder.

Ketika seseorang berinvestasi di SBN seperti ORI misalnya di pasar perdana atau pasar primer, sejatinya ia membeli di harga par atau 100%. 

Nah, ketika pada suatu periode tertentu investor ingin mencairkan investasinya di ORI tersebut, dengan menjual ke pasar sekunder, maka ada dua kemungkinan. Bila menjualnya di kala harganya naik, ia bisa menikmati untung dari kenaikan harga (capital gain). 

Demikian juga sebaliknya, bila ia menjual SBN ketika harganya jatuh di pasar sekunder, maka investor mengalami capital loss dari penurunan harga modal yang ia tempatkan di ORI.

Untuk lebih jelas, mari melihat simulasi berikut ini:

Seorang investor menempatkan Rp100 juta di SBN ritel berjenis ORI seri 027 yang baru diterbitkan tempo hari. Penempatan di ORI027 yang bertenor 2 tahun dengan kupon tetap 6,75%.

ORI seri ini bisa diperjualbelikan di pasar sekunder setelah pencairan kupon pertama atau setelah melewati minimum holding period. 

Bila investor memutuskan hold to maturity selama 2 tahun, maka ia akan mendapatkan pendapatan tetap dari kupon sebesar Rp506.250 setiap bulan. Total pendapatan kupon atau keuntungan yang ia kantongi selama dua tahun memegang ORI027 mencapai Rp36,25 juta dari modal investasi sebesar Rp100 juta. 

Sebaliknya, bila investor berniat memburu untung dari pergerakan harga di pasar sekunder, maka ia perlu melihat apakah harga ORI027 di pasar tengah naik atau turun.

Bila tengah naik, anggaplah harganya jadi 103%, maka ia bisa memperoleh lagi modal investasinya berikut untung capital gain senilai total Rp103 juta.

Bila diasumsikan penjualan dilakukan setelah pencairan dua kali kupon senilai Rp1,01 juta, maka total keuntungan yang dikantongi investor dengan cara ini mencapai Rp4,01 juta. Angka itu didapatkan dari capital gain sebesar Rp3 juta dan pendapatan kupon sebesar Rp1,01 juta.

Sebaliknya, bila harga ORI027 di pasar tengah jatuh hingga jadi 98%, namun investor terdesak membutuhkan dana tunai sehingga harus menjualnya di harga diskon, maka ia berpotensi menderita kerugian Rp2 juta dari modal investasi. Sementara kupon yang ia kantongi sesuai dengan periode lama ia memegang SBN tersebut.

Itulah mengapa naik turun harga obligasi, yang terindikasi dari tinggi rendah yield, menjadi penting untuk dicermati investor terutama mereka yang memiliki horizon investasi pendek.

Sementara bagi yang berniat investasi jangka panjang dengan memegang surat utang sampai jatuh tempo, ia mungkin terlalu perlu terlalu pusing dengan naik turun harga di pasar.

Hal ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan investasi di saham. Ketika membeli saham, seorang investor bisa mengharap pendapatan dari dividen yang diberikan secara periodik oleh perusahaan yang ia beli sahamnya.

Namun, tidak semua korporasi membagikan dividennya karena kadangkala raihan laba diputar lagi menjadi belanja modal. Selain itu, yield dividen biasanya juga relatif kecil, terlebih bila dibandingkan dengan peluang untung dari kenaikan harga saham di pasar yang bisa berlipat-lipat hingga ratusan bahkan ribuan persen.

Prospek Bunga

Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menambahkan, di tengah situasi yang masih penuh ketidakpastian, pilihan investasi terhadap surat utang sejatinya memberikan stabilitas yang dibutuhkan, terutama bagi investor konservatif yang mementingkan pengembalian tetap.

Hal itu yang terjadi ketika perekonomian runyam diterpa pandemi lima tahun lalu. Kala itu, investasi obligasi juga naik daun karena memberikan cuan positif di kala saham serta kelas aset yang lebih berisiko, harganya berjatuhan. 

Ketika perekonomian cenderung melambat, secara teoritis inflasi akan melemah sehingga suku bunga acuan berpeluang turun. Di kala bunga acuan landai, harga obligasi akan naik sehingga investor surat utang berpotensi mendapatkan capital gain dari kenaikan harga obligasi di pasar.

"Itu mungkin satu hal kenapa kami melihat justru dalam kondisi global seperti ini, obligasi akan menjadi salah satu pilihan investasi yang menarik," kata Handy, ketika menjadi panelis dalam Bloomberg Economic Outlook 2025, bulan lalu.

Ketika perekonomian cenderung melambat, seperti yang terjadi di Indonesia dalam dua tahun terakhir, surat utang yang menarik menjadi pilihan adalah yang less risk seperti surat utang pemerintah.

"Obligasi korporasi tentu pilih yang sektornya menarik dan dari sisi tenor tidak perlu terlalu panjang," jelas Handy.

Yield curve atau kurva imbal hasil juga perlu dicermati investor. "Misalnya, kita bicara kalau konteks global tingkat bunga tidak turun-turun, berarti yield curve-nya steepening. Maka, kita akan lebih condong memilih obligasi [bertenor] menengah ke bawah," kata Handy.

Sepanjang tahun ini, pemodal asing tercatat menaikkan kepemilikan di SBN dengan nilai net buy mencapai Rp18 triliun. Yield SBN juga sudah banyak turun, mengindikasikan kenaikan harga obligasi yang membuat instrumen ini masih menarik dikoleksi.

(rui/aji)

No more pages