Bloomberg Technoz, Jakarta - Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat kepermukaan setelah seorang advokat mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang) terhadap UUD 1945. Tentu hal ini bukan hal mudah, ada aspek makro ekonomi, moneter dan regulasi yang benar-benar siap untuk mengimplementasikan kebijakan redenominasi rupiah tersebut.
Hal tersebut disampaikan pengamat Ekonomi SigmaPHI Indonesia Hardy R Hermawan, yang juga mengatakan redenominasi mata uang bisa memberikan manfaat dalam jangka panjang, seperti efisiensi transaksi dan laporan keuangan yang lebih ringkas.
Namun, tanpa stabilitas ekonomi, kepercayaan publik, dan persiapan teknis yang matang, proses ini bisa menimbulkan kekacauan ekonomi dan sosial.
"Makanya pemerintah cenderung menunda implementasi hingga kondisi lebih kondusif," jelas Hardy kepada Bloomberg Technoz, Kamis (13/3/2025).
Wacana redenominasi mata uang rupiah mencuat setelah Advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pasal 5 ayat 1 huruf c fan Pasal 5 ayat 2 huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang) terhadap UUD 1945.
Di dalam permohonan uji materiilnya itu, Zico meminta MK untuk menyederhanakan nilai mata uang atau bisa disebut dengan istilah meredenominasi rupiah dengan skala Rp1.000 menjadi Rp1.
Wacana redenominasi rupiah berkembang sejak pemerintahan presiden ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Namun, hingga saat ini rencana redenominasi uang belum dilakukan.
Menurut Hardy, redenominasi mata uang sudah selayaknya dilakukan karena nilai nominal rupiah sudah sangat kecil dibandingkan mata uang negara lain. Ini membuat reputasi rupiah kurang berwibawa dihadapan mata uang asing.
Nilai pecahan uang rupiah yang beredar sekarang ini, kata Hardy, sudah kurang memadai. Saat ini, nominal terbesar rupiah adalah Rp100.000 yang sudah beredar lebih dari 25 tahun. Sementara saat ini kebutuhan pecahan uang sudah lebih banyak.
"Tanpa redenominasi, nilai nominal pecahan nantinya bisa terlalu besar, mencapai Rp1 juta per helai (lembar) uang. Jadinya juga dinilai kurang berwibawa," tambahnya.
Melakukan redenominasi uang memang tidak mudah, ada risiko yang akan dihadapi. Ia menyarankan, jika pemerintah ingin melakukan redenominasi, idealnya dilakukan saat inflasi rendah dan stabil.
"Namun, di Indonesia inflasi sering dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti harga komoditas global dan nilai tukar rupiah. Jika ekonomi tidak cukup stabil, masyarakat khawatir harga barang justru naik akibat mispersepsi terhadap nilai mata uang baru," jelasnya.
Hardy menduga, masyarakat awam bisa menganggap redenominasi sebagai devaluasi atau penurunan nilai mata uang. Jika edukasi publik kurang efektif, akan ada risiko panic buying atau spekulasi harga yang menyebabkan inflasi psikologis.
Di sisi lain, industri perbankan, perusahaan, dan institusi keuangan harus menyesuaikan sistem akuntansi, perbankan, dan pembayaran agar sesuai dengan nominal baru itu.
"Pemerintah perlu mengeluarkan dana besar untuk mencetak uang baru, mengganti sistem perbankan, mengubah laporan keuangan, serta melakukan sosialisasi luas agar masyarakat. Jika tidak dilakukan secara bertahap dan efektif, bisa menimbulkan resistensi dari pelaku usaha dan masyarakat," bebernya.
(mef/hps)