"Trump mungkin sedang menguji batas kesabaran China," kata Chang Shu, kepala ekonom Asia di Bloomberg Economics. Dalam catatannya, ia memperingatkan bahwa jika China yang selama ini menahan diri mulai mengambil sikap lebih agresif, perang dagang bisa semakin merugikan.
Keputusan Trump ini mengejutkan Beijing karena diumumkan tanpa peringatan sebelumnya. Tarif baru akan berlaku sehari sebelum Presiden Xi Jinping menghadiri Kongres Rakyat Nasional (NPC), pertemuan politik terbesar tahun ini, di mana para pejabat China akan memaparkan strategi ekonomi untuk 2025.
Meskipun tarif ini diperkirakan tidak akan memengaruhi target pertumbuhan atau kebijakan fiskal yang telah ditetapkan, dampaknya bisa dirasakan pada sentimen pasar.
Di tengah meningkatnya ketegangan, Xi Jinping meminta para pejabat tinggi tetap tenang. Sejak Trump menjabat, ia belum berbicara langsung dengan Xi, meskipun sebelumnya ia mengatakan mengharapkan panggilan telepon dari pemimpin China itu bulan ini.
Baik Beijing maupun Washington tampaknya berusaha menghindari kehancuran hubungan bilateral. Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng, baru saja berbicara dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent—kontak tingkat tinggi kedua sejak Trump kembali ke Gedung Putih. Kementerian Pertahanan China juga mengonfirmasi bahwa pembicaraan dengan militer AS sedang direncanakan.
Dalam pernyataannya, China tetap menegaskan harapan untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog, mengindikasikan keinginannya untuk mencapai kesepakatan.
Namun, China biasanya baru mengambil tindakan balasan setelah tarif benar-benar berlaku. Pada putaran sebelumnya, Beijing merespons dalam hitungan detik setelah tarif AS diberlakukan, dengan kebijakan balasan seperti tarif tambahan, investigasi antitrust terhadap Google, pembatasan ekspor mineral strategis, serta memasukkan dua perusahaan AS dalam daftar hitam entitas yang tidak dapat dipercaya.
Jika tidak ada kesepakatan mendadak, China kemungkinan akan kembali menerapkan langkah-langkah serupa pekan depan, termasuk mengaktifkan kembali beberapa tarif yang pernah diberlakukan saat perang dagang sebelumnya.
Sejak 2020, pemerintah China telah menangguhkan sejumlah tarif atas impor dari AS. Namun, semua keringanan ini dijadwalkan berakhir pada Jumat (28/2/2025)), dan hingga kini Beijing belum mengumumkan apakah akan memperpanjangnya.
Raymond Yeung, kepala ekonom Greater China di Australia & New Zealand Banking Group Ltd, memperkirakan tarif tambahan ini hanya akan memberikan dampak kecil terhadap pertumbuhan ekonomi China. Namun, menurutnya, respons kebijakan China justru dapat membawa keuntungan bagi ekonomi domestik.
"Yang paling pasti adalah reaksi China: mengimbanginya dengan meningkatkan konsumsi dan investasi di sektor teknologi," ujarnya.
Bloomberg Economics memperkirakan dampak tarif baru ini terhadap ekonomi China masih dapat dikelola, mengingat hanya sekitar 2% dari nilai tambah China yang bergantung pada ekspor ke AS.
"Dalam jangka menengah, China juga kemungkinan akan menemukan pasar baru untuk ekspornya, meskipun hal ini bisa menghadapi perlawanan dari negara lain yang sudah khawatir dengan kelebihan kapasitas produksi China di beberapa sektor," tulis ekonom Bloomberg, Maeva Cousin, dalam laporannya.
Tanda-tanda resistensi global mulai terlihat. Pekan lalu, Korea Selatan dan Vietnam mengikuti langkah AS dengan menerapkan tarif pada produk baja China guna membendung lonjakan suplai dari produsen baja terbesar dunia itu.
Sementara itu, pemerintahan Trump terus memperluas tekanannya terhadap Beijing dengan mengumumkan pembatasan baru terhadap aliran investasi antar kedua negara, usulan tarif bagi barang yang dikirim ke AS menggunakan kapal buatan China, serta negosiasi dengan Meksiko agar negara tersebut juga menerapkan tarif terhadap barang impor China.
Langkah-langkah ini berpotensi mendorong inflasi di AS, karena perusahaan-perusahaan China kemungkinan akan meneruskan biaya tambahan ini ke konsumen Amerika. Dampaknya bisa lebih besar dari yang diperkirakan, menurut riset terbaru bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed), yang menyebutkan bahwa data impor AS selama ini kurang menghitung besarnya ketergantungan pada produk China.
Dengan kebijakan AS yang semakin agresif, China mungkin harus merancang paket stimulus tambahan senilai 500-700 miliar yuan untuk menjaga target pertumbuhannya, menurut Michelle Lam, ekonom Greater China di Societe Generale SA.
"Berita ini meningkatkan kemungkinan bahwa pemerintah China akan melakukan langkah-langkah stimulus yang cukup signifikan," kata Lam. "Namun, mereka mungkin juga akan menunggu untuk menilai dampak lebih lanjut dan melihat apakah ada peluang negosiasi di masa depan yang dapat mengurangi tarif."
(bbn)































