Sementara tenor 2Y sudah turun 29,6 basis poin dalam sebulan ini. Adapun tenor menengah 5Y mencatat penurunan yield lebih kecil pada periode yang sama yaitu hanya 6,7 basis poin. Sebagian karena lonjakan tajam lagi selama pekan ini. Kemarin saja, yield SBN 5Y naik 7,7 basis poin.
Di sisi lain, SBN tenor 10Y mencatat penurunan 15,4 basis poin dalam sebulan terakhir, disusul penurunan yield SBN-15Y sebanyak 14,3 basis poin.
Adapun posisi dana asing di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) terindikasi terus menurun. Mengacu data terakhir yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, sepanjang tahun ini hingga data setelmen 20 Februari, investor asing mencatat posisi beli neto di SRBI sebesar Rp3,23 triliun.
Dibandingkan dengan posisi pada akhir Januari lalu yang masih sebesar Rp12,93 triliun, terdapat penurunan posisi investor asing di SRBI sebesar Rp9,7 triliun selama bulan ini hingga 20 Februari lalu.
Minat investor asing yang cenderung menurun di aset-aset rupiah terutama di saham dan SRBI, kemungkinan karena kekhawatiran akan prospek pertumbuhan ekonomi domestik ke depan yang terdampak oleh faktor perang dagang AS versus China. Juga, langkah pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah.
Sentimen negatif juga muncul menyusul pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia). Kemunculan Danantara malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Pengamat dan praktisi investasi Desmond Wira menyoroti pemilihan petinggi dan pengawasnya yang mayoritas berasal dari kalangan politikus, bukan profesional di bidang investasi, yang semakin menambah sentimen negatif terhadap kepercayaan pasar.
"Danantara seharusnya menjadi katalis positif bagi investasi, tetapi pemilihan jajaran pengawasnya justru menimbulkan keraguan. Jika pengelolaannya tidak transparan, maka dampaknya bisa kontraproduktif terhadap kepercayaan investor," kata Desmond.
Sehari setelah Danantara dibentuk, Morgan Stanley menurunkan peringkat saham MSCI Indonesia dari 'equal weight' menjadi 'underweight'.
Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah memangkas anggaran belanja negara hingga Rp750 triliun dalam tiga putaran dinilai dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi stimulus yang seharusnya dapat menopang daya beli masyarakat.
Kisruh dalam sistem perpajakan nasional, terutama penerapan sistem Coretax, juga berpotensi mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Masalah ini semakin diperparah dengan besarnya utang jatuh tempo Indonesia pada 2025 yang mencapai sekitar Rp800 triliun, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan negara dalam menjaga stabilitas fiskal.
Dalam penjelasan terakhir, Pemerintah Prabowo Subianto memasukkan kehadiran Badan Pengelola Investasi Danantara ke dalam perencanaan pembangunan, seperti dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025.
Pembentukan Danantara adalah bagian dari upaya meningkatkan rasio penerimaan negara menjadi 23% dalam lima tahun.
Beleid itu juga menetapkan berbagai target fiskal untuk 2029, di antaranya adalah penerimaan pajak sebesar 11,52%-15% dari PDB. Lalu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 2,21%-2,99% dari PDB.
Kemudian, belanja negara sebesar 16,2%-20,5% dari PDB. Sementara defisit APBN sebesar 2,45%-2,5% dari PDB.
Adapun jumlah surat utang pemerintah adalah sebesar 39,01%-39,1% dari PDB.
Untuk pertumbuhan ekonomi, regulasi tersebut juga menetapkan target PDB tumbuh 5,3% pada 2025 dan 8% pada 2029.
Survei Bloomberg
Perekonomian Indonesia pada 2025 diperkirakan akan cenderung lesu dengan pertumbuhan hanya 5%, berdasarkan hasil survei Bloomberg terbaru yang dilansir kemarin.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru berpeluang tumbuh lebih tinggi pada 2026, diperkirakan mencapai 5,10% dan pada 2027 akan mencapai 5,15%.
Prediksi itu merupakan hasil konsensus dari 33 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg selama rentang waktu 21 Februari hingga 26 Februari lalu.
Pada kuartal 1-2025, pertumbuhan ekonomi RI diprediksi akan terkontraksi 0,90% quarter-to-quarter (qtq), lebih buruk dibanding prediksi sebelumnya yang masih memperkirakan akan ada pertumbuhan positif 0,20%.
Pada 2025, perekonomian RI juga diperkirakan masih menghadapi risiko resesi. "Potensi terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan mencapai 5%, berdasarkan 7 responden survei," demikian dilansir dari laporan survei.
Beberapa hal yang mempengaruhi kelesuan pertumbuhan ekonomi domestik, menurut salah satu ekonom yang disurvei adalah karena dampak perang dagang yang dikobarkan oleh Presiden AS Donald Trump. Sementara langkah Pemerintahan Prabowo Subianto menggeber realokasi belanja negara, dinilai menjadi tambahan penghadang pertumbuhan ekonomi domestik.
"Kami memprediksi kebijakan tarif AS sebesar 10% pada China akan berdampak langsung menurunkan 0,2 poin persentase laju PDB Indonesia pada 2025. Itu terutama karena ekspor yang melemah dan arus investasi tetap yang juga turun. Hal itu berarti, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat di kisaran 4,9% tahun ini, di bawah target Pemerintah RI sebesar 5,2%. Sementara, rencana Presiden Prabowo memangkas anggaran, bisa menjadi penghambat [pertumbuhan] tambahan," kata Lloyd Chan, Ahli Strategi di MUFG Bank, salah satu bank terbesar di Jepang, dilansir dari Bloomberg.
-- dengan bantuan laporan Recha Tiara Dermawan.
(rui/aji)































