"Kami menerima itu sudah dalam bentuk [BBM] RON 90 dan RON 92, tidak dalam bentuk produk RON lainnya. Jadi untuk Pertalite kita sudah menerima produk, baik dari kilang maupun dari luar negeri, itu adalah dalam bentuk RON 90," tutur dia.
Dia pun menegaskan bahwa tidak ada proses perubahan research octane number (RON) pada produk yang diterima oleh Pertamina Patra Niaga. Hanya saja, khusus untuk Pertamax RON 92, dilakukan penambahan aditif dan pewarna melalui proses injeksi blending.
Ega membeberkan bahwa proses blending sendiri merupakan proses yang umum dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair. Proses blending juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah serta performa produk.
"Jadi base fuel RON 92 ditambahkan aditif agar ada benefit-nya, penambahan benefit untuk performa daripada produk-produk ini. Dengan demikian, pada saat kita menerima itu pun, kita baik dari dalam negeri maupun luar negeri kita mempunyai lab, hasil uji lab," ucapnya.
Blending Dibolehkan
Pada kesempatan terpisah hari ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahllil Lahadalia membenarkan metode blending atau yang kerap diartikan sebagai oplosan di kilang minyak adalah hal yang diperbolehkan, selama kualitas dan spesifikasinya setara.
Namun, metode ini tidak akan digunakan untuk BBM dengan RON tinggi seperti Pertama Turbo RON 98.
“Kalau itu beda lagi, itu kan ada RON 90, RON 92, 95, sampai 98. Ya bagus-bagus ini tidak mungkin dicampur, karena itu ada speknya kok. Tidak perlu khawatir,” tuturnya, ditemui di kantor Kementerian ESDM, Rabu (26/2/2025).
Di sisi lain, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengklarifikasi dugaan Pertamax RON 92 yang tidak sesuai spesifikasi tersebut merupakan fakta hukum yang ditemukan tim penyidik Kejagung hanya pada periode 2018—2023, bukan sampai dengan saat ini atau 2025.
“Terkait dengan ada isu oplosan, blending [bahan bakar minyak/BBM Pertamina], dan lain sebagainya; jadi penegasan yang pertama, saya sampaikan bahwa penyidikan ini kan dilakukan dalam tempo 2018—2023. Artinya ini sudah 2 tahun yang lalu,” ujarnya kepada awak media, Rabu (26/2/2025) pagi.
“Benar bahwa ada fakta hukum yang diperoleh penyidik bahwa PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembayaran dengan nilai RON 92, padahal di dalam kontrak, itu di bawah RON 92. Katakanlah RON 88. Artinya, barang yang datang tidak sesuai dengan price list yang dibayar.”
Namun, temuan fakta hukum ihwal RON BBM Pertamina tersebut sudah selesai dua tahun lalu. Dengan kata lain, produk Pertamax yang bermasalah sudah habis terserap atau terkonsumsi oleh masyarakat pada periode tersebut.
Bukan berarti, ujar Harli, Pertamax dengan RON tidak sesuai ketentuan yang dipersoalkan oleh Kejagung tersebut masih beredar hingga saat ini.
“Fakta hukumnya ini pada 2018—2023, dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai. Jadi kalau dikatakan stok 2023 itu enggak ada lagi. Ya kan,” ujarnya.
-- Dengan asistensi Muhammad Fikri
(wdh)
































