Dia pun kembali memastikan bahwa produk BBM yang dijual di SPBU Pertamina memiliki research octane number yang sesuai dengan masing-masing merek. Dengan kata lain, Pertamax yang beredar di SPBU Pertamina dipastikan murni RON 92, bukan hasil pencampuran atau blending dengan RON 90.
Lebih lanjut, Fadjar menggarisbawahi, BBM Pertamina—termasuk Pertamax — yang beredar di masyarakat telah melalui uji spesifikasi di Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), sesuai ketentuan kriteria dari Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kan ada Lemigas. Berarti aman lah seharusnya. Aman lah. Kita pastikan aman kalau sesuai spek, karena dicek juga berkala. Di samping itu, kita juga lakukan pengecekan juga sendiri,” ujarnya.
Bagaimanapun, Fadjar tidak menampik—dalam beberapa kasus produksi untuk BBM tertentu — praktik pembauran atau blending BBM dengan karakter yang berbeda bisa saja dilakukan, misalnya dalam proses produksi Pertamax Green 95.
"Kayak ini aja, kayak Pertamax Green 95 itu kan blending antara Pertamax dengan bioteanol kan," terang Fadjar.
Akan tetapi, untuk bensin Pertamax, dia memastikan tidak terjadi pencampuran dengan Pertalite. Dia juga memastikan masyarakat yang selama ini mengonsumsi Pertamax tidak dirugikan.
"Ya, sebenarnya bisa kita pastikan tidak ada yang dirugikan di aspek hilir atau di masyarakat. Masyarakat kita pastikan mendapatkan yang sesuai dengan yang mereka beli. Jadi itu saja kalau statement-nya dari kami," tegasnya.
Saat ditanya ihwal klaim Kejagung terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat dugaan korupsi di subholding Pertamina, Fadjar merespons, "Ya ditanyakan saja ke pihak Kejagung. Ya kan yang menghitung Kejaksaan."
Isu Pertamax oplosan menyeruak setelah Kejagung mengumumkan tujuh tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina, subholding, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selama periode 2018—2023, pada Senin (24/2/2025) malam.
Di dalam keterangan resminya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menjelaskan dalam pengadaan minyak impor oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat antara penyelenggara negara (tersangka SDS, AP, RS, dan YF) bersama broker (tersangka MK, DW, dan GRJ).
Sebelum tender pengadaan minyak dilaksanakan, terang Harli, pihak-pihak tersebut diduga melakukan kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
“Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi [spot] yang tidak memenuhi persyaratan,” jelas Harli melalui keterangannya, dikutip Selasa (25/2/2025).
Harli mengungkapkan hal itu dilakukan dengan modus tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Adapun, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS membeli produk RON 92 atau Pertamax dengan cara mengoplos dengan membeli RON 90 atau Pertalite, kemudian dilakukan pencampuran atau blending di depo untuk dijadikan produk RON 92 Pertamax.
“Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13%—15% secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” jelas Harli.
Dugaan praktik kongkalikong pengadaan minyak ini pada akhirnya mengakibatkan komponen harga bahan baku minyak mentah yang menjadi jauh lebih tinggi dari semestinya, yang berimbas pada tingginya harga BBM Pertamina yang dijual ke masyarakat.
“Maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP [harga indeks pasar] BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau tinggi,” kata Harli.
Dalam kasus tersebut, Kejagung resmi menetapkan tujuh tersangka, empat di antaranya dari jajaran subholding Pertamina.
Mereka a.l. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional,Sani Dinar Saifuddin (SDS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).
Sementara itu, tiga broker yang menjadi tersangka a.l. Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
Kasus tersebut ditengarai telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun. Harli memerinci kerugian negara tersebut mencakup kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun dan kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun.
Selanjutnya, ada juga kerugian akibat impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi pada 2023 sekitar Rp126 triliun, serta kerugian pemberian subsidi pada 2023 sekitar Rp21 triliun.
(wdh)
































