Logo Bloomberg Technoz

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, dalam konferensi pers Senin (24/2/2025) malam, mengatakan berdasarkan perkembangan penyidikan, tim penyidik menyimpulkan terdapat serangkaian perbuatan tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan negara. 

Adapun, Kejagung telah memeriksa saksi sebanyak 96 orang; pemeriksaan dua orang ahli; penyitaan 969 dokumen; dan penyitaan 45 barang bukti elektronik.

Harli menjelaskan, dalam perkara periode 2018—2023 tersebut, seharusnya pemenuhan minyak mentah atau crude wajib mengutamakan pasokan dari dalam negeri. Dalam hal ini, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak. 

Hal itu  diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.

Akan tetapi, berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS, dan AP malah melakukan ‘kongkalikong’ dalam rapat optimasi hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan kesiapan produksi kilang.

Walhasil, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya hingga akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dari impor.

Pengendara sepeda motor melewati kilang PT Pertamina Balongan di Indramayu, Indonesia./Bloomberg- Dimas Ardian

Spek Tak Sesuai

Dalam kasus dugaan korupsi tersebut, Kejagung menyebut Pertamina sengaja menurunkan produksi kilang minyaknya, sedangkan produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan dalih produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih dalam rentan harga perkiraan sendiri (HPS)

Harli juga menyebut produk minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan kualitas kilang. Akan tetapi, fakta penydidikan yang ditemukan adalah minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang, sehingga dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

“Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah [bagian negara] Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri [ekspor],” kata Harili. 

Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) justru melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

Selisih Harga

Kejagung memaparkan pembelian minyak impor tersebut, jika dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri, terdapat perbedaan komponen harga yang lebih tinggi. 

Harga impor minyak dalam pasar spot berfluktuasi berdasarkan dinamika permintaan dan penawaran. Tolok ukur utama harga yang digunakan adalah Indonesia Crude Price (ICP); West Texas Intermediate (WTI); dan Mean of Plats Singapore (MOPS).

Sementara itu, harga pasar minyak mentah dalam negeri yang berfluktuasi berdasarkan dinamika permintaan dan penawaran mengacu pada harga indeks ICP.

Harli memaparkan dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat antara penyelenggara negara (tersangka SDS; AP; RS; dan YF) bersama broker (tersangka MK; DW; dan GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.

“Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi [spot] yang tidak memenuhi persyaratan,” jelas Harli.

Harli mengungkapkan hal itu dilakukan dengan modus tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Adapun, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS membeli produk RON 92 atau Pertamax dengan cara mengoplos dengan membeli RON 90 atau Pertalite, kemudian dilakukan pencampuran atau blending di depo untuk dijadikan produk RON 92 Pertamax. 

“Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13%—15% secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” jelas Harli. 

Dirut PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi ditetapkan sebagai tersangka korupsi minyak mentah, Senin (24/2/2025)./dok. Kejagung

Harli menuturkan ketika kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan dalam penetapan harga indeks pasar (HIP) bahan bakar minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi atau mahal.

Praktik ini dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN.

Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari komponen sebagai berikut:

  1. Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun.
  2. Kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun.
  3. Kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun.
  4. Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
  5. Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Harli mengatakan para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menanggapi kasus hukum yang sedang berjalan, Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan perseroan menghormati Kejagung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan.

“Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” kata Fadjar dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (25/2/2025). 

(mfd/wdh)

No more pages