Sementara itu, smelter nikel yang beroperasi saat ini sebanyak 49 rotary kiln-electric furnace (RKEF) dan 5 high pressure acid leach (HPAL) dengan kebutuhan 290 juta ton bijih nikel. Adapun, produksi bijih nikel Indonesia dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Filipina baru saja menyatakan rencana untuk meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) yang bakal melarang ekspor mineral mentah paling cepat pada Juni 2025. Ini merupakan sebuah rencana, yang menurut para investor, dapat menyebabkan gelombang penutupan tambang di negara tersebut.
Kongres Filipina akan reses setelah pekan ini dan sesi akan dilanjutkan pada Juni, tetapi Presiden Senat Francis Escudero berharap akan ada pertemuan komite bikameral dengan anggota dari Senat dan DPR untuk membahas RUU tersebut.
"Saya berharap itu akan dilakukan selama masa jeda sehingga kami dapat meratifikasinya ketika sesi dilanjutkan," kata Escudero dalam sebuah pengarahan, Kamis (6/2/2025).
Pemerintah Filipina mengakui ingin mengadopsi keberhasilan pemasok nikel No. 1 dunia, Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.
Indonesia sudah lebih dahulu menerapkan larangan ekspor bijih logam sejak 2020 dan meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di negara ini.
Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, menurut Escudero, sebagai sebuah contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya.
"Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin," kata senator tersebut.
Kurang dari 3% dari 9 juta hektare (22 juta hektare) lahan yang diidentifikasi oleh Pemerintah Filipina sebagai lahan dengan cadangan mineral tinggi saat ini sedang ditambang.
(wdh)