Pemerintah Thailand juga bersiap untuk menghindari tarif hukuman apa pun atas ekspornya ke AS yang membukukan surplus perdagangan sebesar US$35 miliar tahun lalu.
Impor produk murah yang tak kunjung berhenti juga semakin mengancam sektor manufaktur Thailand yang telah menurunkan rata-rata utilisasi kapasitas di pabrik-pabrik hingga sekitar 56%. Produksi pabrik Thailand turun selama lima bulan berturut-turut pada Desember, di mana penjualan mobil anjlok di tengah melemahnya permintaan.
Komite Tetap Gabungan Perdagangan, Industri, dan Perbankan — kelompok sektor swasta terbesar di Thailand — juga mendesak pemerintah untuk melibatkan perwakilan mereka dalam 'ruang perang' yang dibentuk untuk segera menyusun strategi guna menghadapi kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump.
Kriengkrai mengatakan Pemerintah Thailand harus mempekerjakan pelobi untuk berurusan dengan AS, selain merayu China agar mendirikan usaha patungan dengan perusahaan-perusahaan lokal untuk membuat produk demi menghindari tarif AS.
Para pejabat Thailand mengatakan mereka akan menawarkan insentif pada perusahaan-perusahaan global yang ingin meminimalkan dampak perang dagang AS-China. Negara ini mengirim Menteri Perdagangan Pichai Naripthaphan ke AS pekan ini untuk bertemu dengan pejabat perdagangan AS sebagai upaya mencegah konflik.
Kelompok sektor swasta ini mempertahankan proyeksi pertumbuhan sebesar 2,4% hingga 2,9% untuk tahun ini, mengatakan bahwa negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini menghadapi banyak risiko, termasuk perang dagang yang semakin intensif dan mata uang lokal yang kuat.
(bbn)
































