Pensiun dini PLTU
Di sisi lain, Eniya menjelaskan hingga kini pemerintah masih mengkaji terkait keputusan penggunaan dana JETP untuk mendanai pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Terakhir kan pembahasan dengan tiga Menteri [Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri BUMN] itu masih perlu exercise untuk alasan kami mempensiunkan PLTU yang permintaannya JETP," imbuhnya.
Tak hanya itu, Eniya menyebut saat ini tengah dilakukan pendampingan oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) untuk membuat peta jalan pensiun dini PLTU.
Sebelum memutuskan melakukan pensiun dini, tambah Eniya, pemerintah melalui PLN harus melakukan Amandemen Power Purchase Agreement (PPA) PLN atau perubahan-perubahan perjanjian jual beli listrik antara PLN dengan pengembang listrik.
Dengan demikian, jumlah alokasi pembiayaan dari JETP harus sesuai dengan perjanjian jual beli listrik dari PLTU yang harus dipensiunkan.
"Kalau kita go sampai PLN mengamandemenkan PPA. Itu harus dilihat setara dengan agreement yang seperti apa? Nah itu yang belum jelas, makanya perlu mengkaji lebih lanjut," ucap Eniya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya mengungkapkan dampak penarikan AS dari Paris Agreement ini adalah masa depan EBT menghadapi ketidakpastian. Ia pun berjanji akan mengkaji ulang masa depan EBT yang digarap Indonesia sebab pendanaan EBT bisa terancam.
“Amerika sudah mulai mundur dari itu setelah mengkaji ulang. Tapi oke, kita kan bagian daripada konsensus global yang harus kita jalani,” ucap Bahlil.
“Jadi jangan sampai kita ini menari di gendang orang pada saat dia pukul gendang bunyinya jalan, menari jalan, yang pukul gendang dia lari dia bikin gendang baru lagi ini yang bodoh siapa, yang pintar siapa kan kira-kira.”
Ekonom Sebut Paris Agreement Berdampak pada Pembiayaan Iklim
Kalangan ekonom berpandangan kebijakan mundurnya AS dari Paris Agreement akan berdampak pada pembiayaan iklim negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia pun disarankan untuk mulai memerhatikan sektor lain yang memiliki daya tawar tinggi bagi AS.
“Paris Agreement ini bukan pertama kalinya, Trump pernah keluar dari Paris Agreement, pas dia menjabat pada era Trump 1.0 hal tersebut juga terjadi. Paris Agreement tetap berjalan walaupun dengan konsekuensi bahwa climate financing akan menjadi lebih sulit,” kata Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi dalam media briefing, dikutip Rabu (22/1/2025).
Dandy menyebut keluarnya AS dari Paris Agreement juga akan berdampak pada komitmen sejumlah negara maju seperti anggota G7 dalam menyalurkan pendanaan atau pembiayaan iklim terhadap negara berkembang.
Pendanaan negara berkembang seperti Indonesia sangat terbatas untuk membiayai proyek-proyek transisi energi dan isu lingkungan ke depannya.
(lav)





























