Pertama, keputusan Menteri Keuangan mengerem belanja melalui pembatalan pencairan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dengan nilai sekitar Rp140 triliun-Rp150 triliun untuk mempertahankan kehati-hatian fiskal.
Kedua, meski nilai surplus dagang pada Desember mengecil, sejatinya pada kuartal IV-2024 Indonesia mencatat kenaikan nilai surplus dagang sebesar US$ 9,09 miliar dari sebesar US$ 6,51 miliar pada kuartal sebelumnya.
"Perkembangan tersebut menaikkan probabilitas defisit transaksi berjalan 2024 bertahan di kisaran 0,6%-0,7% dari PDB. Faktanya, pemangkasan BI Rate akan membawa defisit transaksi berjalan RI terkendali di kisaran 0,8%-1% dari PDB pada tahun ini di tengah pelemahan rupiah yang akan menaikkan pendapatan ekspor," kata analis Mega Capital Indonesia di antaranya Lionel Priyadi dan Muhammad Haikal.
Ketiga, keputusan Pemerintah RI memperbarui aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yaitu penempatan devisa 100% di dalam negeri selama 12 bulan bagi eksportir sumber daya alam.
Aturan yang berlaku mulai 1 Maret tersebut, menurut perkiraan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dapat menambah pasokan valas di dalam negeri sebesar US$ 90 miliar dalam setahun.
Aturan tersebut menjadi gebrakan besar Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melanjutkan kebijakan tahun 2023 ketika DHE diwajibkan penempatannya di dalam negeri sebanyak 30% selama 3 bulan, di tengah protes para eksportir yang menilai aturan itu mengganggu arus kas perusahaan.
Perpanjangan masa penempatan wajib DHE hingga 12 bulan, diharapkan bisa signifikan menambah pasokan valas domestik setelah aturan sebelumnya tidak terlalu 'menggigit' memberi dukungan pada rupiah.
Berdasarkan data yang rutin dilansir oleh BI, nilai valas yang berhasil ditarik dan 'parkir' di dalam negeri dengan aturan DHE awal, rata-rata cuma US$ 2 miliar saja. Padahal, nilai ekspor dari sektor tambang pada tahun lalu misalnya, mencapai US$ 40,57 miliar. Belum lagi ekspor dari sektor lain yang nilainya tak sedikit.
Selama regulasi DHE pertama kali diberlakukan pada awal Agustus 2023, nilai rupiah masih merosot 7,03%, terutama karena tertekan fenomena strong dollar yang pada periode yang sama mencatat kenaikan 6,11%.
Risiko Eksternal
BI sepertinya telah mengantisipasi risiko terburuk yang mungkin terjadi ketika Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih sebagai Presiden AS, dan bertendensi menggelorakan lagi apa yang diantisipasi secara luas sebagai Perang Dagang 2.0.
Terkait proyeksi defisit fiskal AS, misalnya, diperkirakan akan di angka 7,7%. Dampak terhadap yield Treasury sudah pula dihitung efeknya terhadap pasar domestik. BI memperkirakan Federal Reserve, bank sentral AS, masih akan memangkas bunga acuan 25 basis poin tahun ini.
"Kami tidak harus menunggu semuanya jelas, karena yang namanya pengambilan keputusan selalu menghadapi ketidakpastian. Intinya, ada dua hal yang mempengaruhi kebijakan, yakni indikator ekonomi keuangan dan kejelasan arah kebijakannya. Soal kejelasan arah kebijakannya sudah mulai kelihatan, meskipun belum jelas banget," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers pekan lalu.
Pelantikan Trump awal pekan ini yang dilanjutkan dengan berbagai rilis kebijakan, sejauh ini belum memantik kehebohan baru di pasar. Pasar sepertinya mulai 'terbiasa' dengan retorika Trump dengan menganggap ancaman tarif itu sebagai bagian dari strategi negosiasi terhadap negara-negara terkait.
Laporan yang dilansir oleh Wall Street Journal, yang menyebutkan penasihat Trump ingin mengkaji pakta perdagangan kontinental yang sejatinya baru akan direview pada 2026, dinilai sebagai cerminan taktik tarif sebagai alat menaikkan posisi tawar AS.
"Laporan itu menunjukkan bahwa ancaman tarif Trump sebesar 25% terhadap Meksiko dan Kanada yang ia janjikan akan dimulai pada 1 Februari hanyalah taktik negosiasi untuk memenangkan kesepakatan perdagangan awal," kata Lionel dalam catatan terpisah.
Menurut analis, para investor sebaiknya kembali fokus pada perkembangan data inflasi AS, yakni inflasi inti Personal Consumption Expenditure (PCE) yang akan dirilis akhir bulan nanti. "Juga fokus pada kebijakan moneter The Fed dengan memberikan sedikit perhatian terhadap gangguan taktik negosiasi Trump," kata Lionel.
Akan ada Penurunan Lagi
Dalam sebuah acara di Kantor Pusat Bank Indonesia pada Rabu siang kemarin, Gubernur Perry melontar sinyal masih adanya peluang penurunan BI Rate ke depan. Bank sentral, kata Perry, akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga dengan melihat perkembangan berdasarkan data-data termutakhir yang saling terkait.
"Kami terus mencermati ruang gerak bagaimana nanti bisa penurunan suku bunga, tentu saja dengan melihat dinamika data dependen yang ada," kata Perry, kemarin.
Dalam kesempatan itu, Perry mengulangi lagi alasan di balik keputusan mengejutkan penurunan BI Rate. "RDG [Rapat Dewan Gubernur] beberapa waktu lalu kami turunkan suku bunga 25 basis poin menjadi 5,75% karena kami yakin inflasi rendah dan kami perlu ikut mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Pengetatan yang sudah dilangsungkan sejak 2022, sebanyak 275 basis poin selama periode Juli 2022 hingga Agustus 2024, telah berdampak pada kelesuan ekonomi.
BI Rate tinggi dinilai berkontribusi pada tingginya bunga kredit hingga dinilai memberatkan dunia usaha. Dua kali penurunan BI Rate yakni pada September lalu dan pekan lalu ke level 5,75%, diharapkan jadi awal dari pemulihan ekonomi domestik.
BI juga telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini, dari semula di kisaran 4,8%-5,6% menjadi 4,7%-5,5%.
Akan halnya dengan rupiah, BI memilih akan melanjutkan strategi operasi moneter seperti yang lalu, melalui Sekuritas Rupiah (SRBI), Sekuritas Valas (SVBI) juga Sukuk Valas BI (SUVBI). BI juga akan melanjutkan jurus triple intervention. Termasuk juga di pasar SBN baik pasar primer maupun sekunder.
Mengacu prediksi yang dirangkum oleh Bloomberg, kebanyakan dari bank asing, rupiah diperkirakan akan berada di kisaran Rp16.250/US$ (angka median) dan selemah-lemahnya ada di Rp16.500/US$ pada kuartal 1-2025.
Pada kuartal II, rupiah diprediksi akan makin lemah di Rp16.300/US$ dan selemah-lemahnya di Rp16.600/US$. Kuartal III-2025 akan menjadi puncak pelemahan rupiah, di mana mata uang ini diprediksi akan bisa menyentuh Rp16.800/US$ dengan median di Rp16.200/US$.
Baru pada kuartal akhir tahun ini, rupiah diperkirakan lebih kuat di kisaran Rp16.140/US$ dan terlemah di 16.600/US$.
-- dengan bantuan laporan Dovana Hasiana
(red)

































