Logo Bloomberg Technoz

Menurut dia, imbal hasil yang tinggi di saat inflasi 2024 hanya 1,57% menandakan kreditur meminta lebih besar bunga untuk kompensasi risiko ekonomi, politik, fiskal dan inkonsistensi kebijakan.

Beban bunga utang yang tinggi mengindikasikan beberapa hal, yakni ada ketidakpastian kebijakan yang membuat profil risiko SBN meningkat. risiko yang dimaksud misalnya, dari sisi Program Makan Bergizi Gratis yang kemungkinan berimplikasi terhadap defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Ketidakpastian kebijakan lain, lanjut Bhima, ialah investasi langsung yang tidak terealisasi akibat aturan yang berubah-ubah. Selain itu, kepastian kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di pengujung waktu yang menyebabkan harga-harga barang terlanjur naik.

"Beban fiskal dan inkonsistensi kebijakan akan tercermin dalam risiko imbal hasil SBN yang ditawarkan kepada investor di pasar," tegas Bhima.

Terkait IHSG, sebagian besar indeks saham di negara kawasan Asia turut tertekan akibat Trump Effect. Namun, menurut Bhima, Indonesia merupakan negara dengan mengalami arus dana asing yang keluar cukup besar. Hal ini terjadi akibat ada kekhawatiran kebijakan disiplin fiskal pemerintah dengan program populis, seperti Makan Bergizi Gratis dan Program 3 Juta Rumah. 

"Pelaku usaha melihat jangka panjang akan dibayar oleh apa program ini? dan apakah berpengaruh pada laba perusahaan yang terdaftar di bursa? Ini menjadi pertimbangan investasi," kata dia. 

Selanjutnya, kepastian dalam kebijakan bank dan lembaga keuangan nonbank untuk mendanai hilirisasi. Menurut dia, kebijakan ini merupakan hal baik untuk mengurangi dominasi asing dalam praktek hilirisasi mineral di Indonesia. Namun di sisi lain, risiko hilirisasi di Indonesia sangat besar. 

"Tentu bagi mereka yang mendanai proyek jangka panjang membuat ketidakpastian sangat besar, maka beberapa emiten bank ada tekanan jual," sebut Bhima.

(lav)

No more pages