Bahlil sebelumnya menyebut Kementerian ESDM tengah menghitung berapa kebutuhan riil bijih nikel oleh industri smelter. Sebagai perbandingan, kementerian menyebut kebutuhan nikel pada 2024 mencapai 210 juta ton, sedangkan produksi yang diizinkan sebanyak 240 juta ton.
“Jangan sampai RKAB-nya diberikan lebih banyak, tetapi penyerapan di industri tidak sesuai,” kata Bahlil dalam kesempatan terpisah di kantornya, pekan lalu.
Dia mengatakan pemberian RKAB yang terlalu besar tanpa mempertimbangkan daya serap industri justru berpotensi menurunkan harga nikel di pasar. Walhasil, penurunan harga tersebut dapat merugikan pelaku usaha termasuk penambang nikel.
“Bukan berarti makin banyak RKAB itu makin baik. Kalau makin banyak kemudian harganya jatuh, ya kasihan teman-teman yang melakukan usaha penambangan nikel. Paling bagus itu RKAB-nya cukup, tetapi harganya stabil dan bagus,” ungkap Bahlil.
Narasumber Bloomberg sebelumnya menyebut jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada 2025 hanya akan sebanyak 150 juta ton. Angka itu merosot drastis dari RKAB pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Periode 2024—2026, Kementerian ESDM menyetujui sebanyak 292 permohonan RKAB pertambangan nikel, tetapi hanya 207 di antaranya yang diizinkan berproduksi.
Drop 35%
Menanggapi kabar tersebut, Macquarie Group Ltd mengestimasikan potensi pemangkasan produksi tambang nikel Indonesia pada 2025 dapat menghilangkan lebih dari sepertiga atau sekitar 35% pasokan global dari pasar. Hal ini menghadirkan risiko kenaikan harga yang signifikan.
Wacana pemangkasan produksi nikel menjadi serendah 150 juta ton tahun ini akan menjadi 40% lebih rendah dari skenario dasar Macquarie, yang mengarah pada pengurangan drastis dalam produksi logam baterai.
Lembaga tersebut memandang pemangkasan skala itu sangat tidak mungkin, tetapi mencatat produksi tambang yang lebih rendah dari yang diharapkan di produsen terbesar di dunia menghadirkan risiko kenaikan harga lainnya.
(mfd/wdh)