Bloomberg Technoz, Jakarta - Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa pemerintah telah berencana menyiapkan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang ketika menghadapi kenaikan suhu lebih panas.
Antara lain sudah cukup banyak dilakukan gerakan-gerakan untuk penghijauan baik seperti di lahan-lahan Mangrove, kemudian juga lahan-lahan gambut.
"Karena secara ilmiah secara akademik terbukti lahan-lahan tersebut dapat menyerap ini emisi gas CO2 atau emisi gas rumah kaca yang menjadi memicu terjadinya kenaikan suhu. Dan kenaikan suhu inilah baik secara lokal secara regional ataupun secara global yang memicu terjadinya perubahan iklim," kata Dwikorita.
"Jadi gerakan-gerakan penghijauan gerakan-gerakan mengurangi emisi gas rumah kaca atau gerakan-gerakan mitigasi aksi iklim untuk mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi yaitu antara lain merubah energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan," urainya.
Dalam kesempatan yang sama Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan langkah dalam menghadapi anomali suhu ini juga dikoordinasikan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas).
"Misalkan pertanian kesehatan, sumber daya air dan lain sebagainya yang ditugaskan untuk melakukan mitigasi, antara lain adalah sektor energi, sektor transportasi dan juga sektor kehutanan misalkan jadi program yang komprehensif terkait dengan efek perubahan iklim maupun juga respon yang bersesuaian dalam bentuk adaptasi dan mitigasi itu sudah didefinisikan oleh pemerintah dan dalam hal ini dikoordinasikan oleh Bapanas,"kata Ardhasena.

Ardhasena pun menjelaskan tugas dan kontribusi dari BMKG adalah untuk melakukan memberikan informasi dukungan terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi tersebut dan juga tetap melakukan tugas penting utamanya yaitu mengamati perilaku sebagian besar perilaku bumi.
"Khususnya di fenomena BMKG yang terus-menerus berubah jadi sebagai jangkar untuk melakukan aksi adaptasi dan mitigasi ini, informasi BMKG yang diberikan ini menjadi komponen penting penunjang untuk aksi-aksi tersebut,"tandas Ardhasena.
Antisipasi potensi banjir dan kekeringan
Sementara soal bencana yang perlu diantisipasi yakni potensi banjir dan tanah longsor untuk daerah yang memiliki rata-rata curah hujan di atas normal. Apalagi saat puncak musim hujan.
Sedangkan untuk wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan di bawah normal, bencana seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, perlu diantisipasi.
"Pada tahun-tahun sebelumnya, Indonesia mencatat ribuan kejadian bencana, lebih dari 95 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor," kata Dwikorita.
"Sementara itu, risiko kekeringan dan kebakaran hutan tetap harus diperhatikan pada musim kemarau meskipun prediksi curah hujan cenderung di atas normal di musim kemarau tersebut, terutama pada bulan Juli-September 2025," imbuh dia.
Dwikorita mengatakan bahwa kewaspadaan tetap diperlukan, mengingat data catatan bencana di Indonesia yang menunjukkan bahwa setiap tahun kerap muncul bencana kebakaran hutan dan lahan.
"Kewaspadaan juga diperlukan untuk antisipasi suhu udara yang mengalami kenaikan pada Mei-Juli 2025. Antara lain di daerah-daerah yang terletak di Sumatera bagian selatan, kemudian juga di Pulau Jawa, NTB, dan NTT," pungkasnya.
(dec/spt)