Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menyebut bahwa turunnya kinerja manufaktur Indonesia pada Juli 2024, yang terefleksi dalam capaian Purchasing Managers' Index (PMI) S&P Global merupakan dampak dari ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global.

Sekadar catatan, indeks PMI diukur dengan angka 50 sebagai penanda zona ekspansi. Bila di angka 50 atau di atasnya, maka aktivitas manufaktur masih ekspansif atau bertumbuh positif. Sebaliknya bila di bawah 50, artinya aktivitas turun atau terkontraksi (tumbuh negatif). Pada Juli, PMI Indonesia adalah 49,3.

"Saya rasa ini dampak dari ketidakpastian ekonomi dan geopolitik dunia ditambah lagi transisi kabinet yang susah diprediksi akan seperti apa kebijakan industri dan ekonominya," kata Ketua Bidang Tenaga Kerja Apindo Bob Azam kepada Bloomberg Technoz, Jumat (2/8/2024).

Bob juga menyoroti kebijakan di sektor manufaktur dan perdagangan yang saat ini dihadapkan dengan banjirnya produk impor yang murah dan tidak terkontrol oleh pemerintah.

"Policy sektor manufaktur dan perdagangan sedang dihadapi dengan banjirnya produk-produk impor yang sangat murah dan sulit dikontrol pemerintah. Ini semua berdampak kepada confidence [kepercayaan] pelaku industri," jelasnya.  

Sebelumnya, kepada Bloomberg Technoz Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memproyeksi penurunan kinerja manufaktur Indonesia pada Juli 2024 masih akan terus berlanjut.

Menurutnya, PMI manufaktur Indonesia diperkirakan masih akan berada di sekitar angka 49 sampai 51 dalam 1-2 bulan ke depan, yang merupakan titik terendahnya.

"Karena pemulihan ekonomi masyarakat itu enggak terjadi di kelas menengah bawah. Saya kira ini juga sebabnya karena inflasi pangan, kemudian tidak ada penciptaan lapangan kerja yang besar," kata Tauhid, Kamis (1/8/2024).

Untuk itu, dia menilai dampak inflasi pangan dan kurangnya penciptaan lapangan kerja menjadi faktor yang menghambat pemulihan ekonomi. Walhasil, lambat laun akan terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berujung pada sepinya pusat-pusat perbelanjaan dan menurunnya permintaan barang-barang industri.

"Sehingga, tentu saja, barang-barang industri dalam negeri kita tidak bisa bersaing dengan produk luar yang masuk ke dalam [negeri], terlalu besar dan menghantam produk-produk kita dengan harga yang lebih murah. Saya kira ini runtutnya akan banyak," jelasnya.

Adapun, berdasarkan catatan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat terjadi perlambatan 0,1 poin yakni 52,4 dibandingkan dengan Juni 2024. Perlambatan nilai IKI dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan masih terkontraksinya variabel produksi.

Nilai IKI variabel pesanan baru menurun 1,86 poin menjadi 52,92, sedangkan variabel produksi meningkat 2,45 poin menjadi 49,44 atau masih kontraksi. Selanjutnya, nilai IKI variabel persediaan produk meningkat 0,48 poin menjadi 55,53.

Sementara itu, dalam rilisnya disebut juga penurunan pesanan terjadi hampir di seluruh subsektor industri. Dari 23 sub sektor, 15 subsektor industri mengalami penurunan pesanan baru. Hal ini dikarenakan kondisi global yang belum stabil dan penurunan daya beli masyarakat di pasar domestik.

(prc/ain)

No more pages