Logo Bloomberg Technoz

Pertalite pertama kali diluncurkan pada Juli 2015 oleh PT Pertamina (Persero) seharga Rp8.400/liter. Dilansir melalui laman resmi Pertamina, Pertalite merupakan bahan bakar bensin atau gasoline yang memiliki angka oktan atau research octane number (RON) 90.

Bensin ini pada awalnya dirancang sebagai solusi perantara untuk konsumen yang saat itu menggunakan bensin bersubsidi bernama Premium, yang pada akhirnya dihapuskan dari seluruh SPBU Pertamina.

Pertamina mengeklaim Pertalite sebagai bahan bakar gasoline terlaris di Indonesia selain Premium karena harganya yang terjangkau.

Namun, berbeda dengan Premium, Pertalite memiliki warna hijau terang dan jernih. Bensin ini memiliki RON 90 dibandingkan dengan RON 88 yang dimiliki Premium. 

Pergerakan Harga

Diolah dari berbagai sumber, harga Pertalite terus mengalami perubahan sejak awal peluncurannya. Adapun, harga JBKP itu sempat mengalami penurunan pada 2016 menjadi sekitar Rp6.900/liter hingga Rp7.450/liter.

Selanjutnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengumumkan kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000/liter mulai Sabtu, 3 September 2022, di tengah harga minyak dunia yang mengganas ke level di atas US$100/barel akibat invasi Rusia ke Ukraina pada tahun tersebut.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyinggung anggaran subsidi dan kompensasi energi akan kembali membengkak sebesar Rp198 triliun jika tidak ada kenaikan harga Pertalite dan Solar.

Terlebih, saat itu harga minyak mentah tengah mengalami tren penguatan dengan tren pelemahan kurs rupiah. Sejak saat itu hingga hari ini, Pertalite tetap stabil di harga Rp10.000/liter.

Petugas mengisi BBM jenis Pertalite di SPBU Pertamina Rest Area Tol Tangerang-Jakarta KM 14, Senin (1/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)


Tidak Disubsidi 

Untuk diketahui, Pertalite sebenarnya bukan merupakan jenis BBM yang mendapatkan subsidi, tetapi merupakan JBKP yang mendapatkan kompensasi dari anggaran pemerintah kepada Pertamina.

Dalam kaitan itu, pemerintah bakal membayar sejumlah dana kompensasi kepada Pertamina atas harga jual formula dan harga jual eceran di SPBU atas kegiatan penyaluran JBKP Pertalite yang nilainya telah di-review oleh Inspektorat Kementerian Keuangan.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangantelah mencairkan dana kompensasi senilai Rp132,44 triliun kepada PT Pertamina (Persero).

Dana tersebut merupakan kompensasi selisih harga jual formula dan harga jual eceran di SPBU Pertamina dalam rangka implementasi penyaluran Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan JBKP Pertalite hingga kuartal III-2023.

Total dana tersebut berasal dari kompensasi selisih harga pada kuartal III-2023 senilai Rp82,73 triliun, 2022 sejumlah Rp49,14 triliun, dan 2021 sebanyak Rp569 miliar.

"Kami sangat mengapresiasi upaya pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang telah mempercepat pembayaran dana kompensasi BBM yang telah disalurkan Pertamina sampai dengan triwulan III-2023," ujar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam keterangan resminya awal tahun ini.

Petugas mengisi BBM jenis Pertalite di SPBU Pertamina Rest Area Tol Tangerang-Jakarta KM 14, Senin (1/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Pembatasan dan Penggantian

Di tengah upaya pemerintah untuk menekan beban anggaran subsidi dan kompensasi sektor energi, Pertamina juga dihadapkan pada isu penyaluran Pertalite yang kerap tidak tepat sasaran.

Bensin yang seharusnya digunakan untuk masyarakat kelas bawah ini, pada faktanya lebih banyak ditenggak oleh kendaraan milik masyarakat mampu. 

Pada akhirnya, pemerintah pun mulai putar otak untuk mengendalikan pola pembelian Pertalite melalui sejumlah persyaratan. Persyaratan itu sejatinya termaktub dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Sayangnya, hingga saat ini revisi beleid tersebut tidak kunjung tuntas.

Bersamaan dengan rencana pengendalian pembeilan Pertalite tersebut, muncul indikasi bahwa bensin Rp10.000an itu akan dihapuskan dan pada akhirnya digantikan dengan bahan bakar ramah lingkungan dengan RON lebih tinggi.

Dalam kaitan itu, Pertamina pada tahun lalu telah mengisyaratkan rencana untuk mengonversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 mulai 2024, meski belum didetailkan kapan persisnya BBM bauran bioetanol 7% (E7) itu mulai dipasarkan.

Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI akhir Agustus, Pertamax Green 92 kemungkinan dibanderol seharga Pertalite alias sekitar Rp10.000/liter. Dengan bauran E7, bahan bakar tersebut diklaim menaikkan RON Pertalite dari 90 menjadi 92.

"Tidak mungkin harga [Pertamax Green 92] diserahkan ke pasar. Tentu ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya," ujar Nicke saat itu.

Nicke menjelaskan rencana penghapusan Pertalite merupakan bagian dari program Langit Biru untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada program Langit Biru Tahap 1, Pertamina telah menaikkan produk BBM subsidi dari BBM RON 88 Premium menjadi RON 90 Pertalite.

"Dengan harga yang sama, masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan angka oktan yang lebih baik sehingga untuk mesin juga lebih baik, sekaligus emisinya juga menurun," tegas Nicke.

Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sempat membantah Pertamina akan menghapus Pertalite pada 2024.

Dia menjelaskan sebenarnya perusahaan tambang dan minyak milik negara itu mengusulkan skema agar penggunaan bensin dapat lebih efisien dan ramah lingkungan, salah satunya dengan mengkaji produksi Pertamax Green 92.

Enggak. Semua pembicaraannya dibentuk media, katanya Pertalite akan dihapus. Tidak pernah ada statement itu. Enggak ada, yang ngomong siapa?” ujarnya dalam sebuah acara di Tangerang, awal September.

Petugas mengisi BBM jenis Pertamax di SPBU Pertamina Rest Area Tol Tangerang-Jakarta KM 14, Senin (1/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Di lain sisi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga sempat mengonfirmasi rencana konversi bertahap bensin Pertalite menjadi Pertamax Green 92 mulai 2024. Akan tetapi, konversi tersebut dilakukan secara terbatas, dengan sejumlah catatan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji saat ditemui pada medio September membenarkan konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 adalah bagian dari program Langit Biru besutan Pertamina, yang dirancang untuk beberapa tahap setelah melakukan serangkaian proses evaluasi.

Program Langit Biru pada dasarnya ditujukan agar perusahaan migas milik negara itu memproduksi BBM dengan RON tinggi agar menghasilkan emisi yang lebih rendah demi menjaga kualitas udara.

“Sebelumnya sudah [meluncurkan] Pertamax Green 95, tetapi kita punya jadwal-jadwal [untuk] Pertamina. Tahap 1A, 1B, tahap 2, dan 3. Kami evaluasi untuk bisa dilaksanakan itu, ya kami lebih mendalami dahulu programnya itu,” ujarnya.

Persiapan Bahan Baku

Memasuki April 2024, Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024.

"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kegiatan investasi perkebunan tebu terintegrasi dengan industri gula, bioetanol, dan pembangkit listrik biomasa yang memerlukan fasilitasi, koordinasi, dan perizinan berusaha bagi pelaku usaha, dibentuk Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Satuan Tugas," tulis Pasal 1 Keppres tersebut, dilansir Rabu (24/4/2024).

Menjelaskan perpres tersebut, Kementerian Investasi/BKPM mengonfirmasi pembentukan satgas itu memang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku biofuel pengganti Pertalite atau Pertamax yang bakal mulai digunakan pada 2027.

Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengungkapkan pemerintah saat ini tengah melakukan persiapan lapangan, sehingga target produksi bahan baku tebu untuk bahan bakar berbasis bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa tercapai pada 2027.  

“Penyediaan bioetanol yang berasal dari fermentasi tetes [tebu/molasses] digunakan untuk pengganti Pertamax atau Pertalite. [Bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa digunakan] sesuai dengan rencana produksi di Merauke pada 2027,” ujar Yuliot kepada Bloomberg Technoz, Kamis (25/4/2024).

Menurut Yuliot, pembentukan satgas ini juga bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan dan ketahanan energi. Selain itu, satgas juga difungsikan untuk menjaga sinkronisasi kebijakan, penyediaan bibit unggul, serta memfasilitasi perizinan dan investasi.

Truk tangki bongkar muat BBM di SPBU Pertamina Rest Area Tol Tangerang - Jakarta KM 14, Senin (1/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Menyusul konfirmasi dari BKPM, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) pun mengungkapkan pemerintah bakal menambah bauran bioetanol hingga 20% pada 2025.

Adapun, peningkatan bauran bioetanol dilakukan sebagai upaya persiapan untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan pengganti Pertalite dan Pertamax.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan rencana tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.

“Mengacu ke Permen ESDM No. 12/2015, tahapan minimal kewajiban pemanfaatan bioetanol diatur 5% pada 2020 dan naik 20% pada 2025,” ujar Saleh saat dihubungi Bloomberg Tecnoz, Jumat (26/4/2024). 

Saleh mengatakan, bauran bioetanol tersebut bakal meningkat menjadi 20% untuk transportasi yang mendapatkan subsidi atau public service obligation (PSO).  Sementara itu, bauran bioetanol sebesar 10% hingga 20% bakal diterapkan untuk transportasi non-PSO.

Nantinya, etanol – yang merupakan bahan baku bauran bioetanol – bakal dicampur dengan Pertalite untuk penggunaan bioetanol bagi kendaraan PSO. Sementara itu, kendaraan non-PSO bakal menggunakan bauran antara etanol dengan Pertamax.

“Kalau PSO dicampur Pertalite, kalau non-PSO [dicampur] Pertamax ke atas,” ujar Saleh. 

(wdh)

No more pages