Logo Bloomberg Technoz

Makan Gratis Bisa Picu Defisit APBN, RI Perlu Belajar ke Thailand

Tim Riset Bloomberg Technoz
28 February 2024 14:10

Ilustrasi Rupiah. (Brent Lewin/Bloomberg)
Ilustrasi Rupiah. (Brent Lewin/Bloomberg)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Risiko fiskal berpotensi muncul karena pelebaran defisit buntut dari penerapan program populis seperti progam makan siang gratis. Penerapan kebijakan ini membutuhkan biaya besar yang akan membebani prospek surat utang negara (SUN) dan nilai tukar rupiah di masa yang akan datang.

Program populis biasanya hanya akan mengatasi persoalan kebutuhan masyarakat jangka pendek, seringkali menjadi strategi andalan para pemimpin yang ingin mendapatkan dukungan lebih besar dari rakyat. Hal tersebut bisa menjadi masalah ketika kebijakan populis itu berpotensi membawa kredibilitas keuangan negara ke level lebih rendah dari sebelumnya.

Pengalaman Thailand bisa menjadi pelajaran. Negeri Gajah Putih itu, melalui kebijakan Perdana Menteri Srettha Thavisin, meluncurkan program populis -yang ia gencar kampanyekan selama pemilu- berupa pemberian uang belanja lewat dompet digital, senilai 10.000 baht atau sekitar US$279, setara Rp4,37 juta kepada sedikitnya 50 juta orang Thailand berusia dewasa.

Tujuannya adalah untuk mendorong konsumsi agar roda ekonomi Thailand mampu bangkit. Program Thailand itu, yang mirip Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Indonesia, menghabiskan biaya US$14 miliar, sekitar Rp219,42 triliun yang seluruhnya dibiayai oleh utang.

Program berbiaya mahal itu membuat para investor dan lembaga penilai kredit was was karena dikhawatirkan dapat berdampak pada lonjakan inflasi dan meruntuhkan konsolidasi fiskal Thailand yang sudah dibangun susah payah setelah terhantam pandemi 2020. Partai oposisi, para ekonom hingga bank sentral Thailand berbaris mengecam bahkan menolak program Srettha tersebut. 

Baht Thailand sudah merosot 6% sejak pemilu pada Mei lalu tertekan kebijakan PM Srettha (Bloomberg)