Logo Bloomberg Technoz

David Voreacos dan Rafaela Lindeberg - Bloomberg News

Bloomberg - Ericsson AB akan membayar US$ 206,7 juta atau sekitar Rp 3,16 triliun (dengan asumsi kurs Rp 15.306) kepada otoritas Amerika Serikat akibat pelanggaran suap yang mereka lakukan di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Nilai denda ini jadi yang terbesar sepanjang sejarah peradilan perusahaan di AS. Hal ini menjadi babak akhir dari kasus korupsi yang sempat menyita perhatian di tahun 2000-an.

Perusahaan teknologi asal Swedia ini akan mengaku bersalah atas dakwaan aksi penyuapan di Indonesia, China, Vietnam, Kuwait dan Djibouti pada tahun 2000 hingga 2016. Demikian disampaikan Departemen Kehakiman setempat dalam sebuah pernyataan seperti dilansir Bloomberg News, Jumat (3/2/2023).

Perusahaan penyedia teknologi 5G dunia tersebut telah melanggar Undang-Undang Praktik Korupsi Bagi Asing dan masih dalam pengawasan hingga Juni 2024.

Pada Januari kemarin, Ericsson melaporkan membukukan provinsi 2,3 miliar kronor atau US$ 220 juta, setara Rp 3,06 triliun pada kuartal IV tahun lalu untuk membayar pinalti. Tercatat saham Ericsson naik 4,5% menjadi 60,40 kronor pada bursa Stockholm, Jumat (3/2/2023) waktu setempat.

CEO Ericsson Borje Ekholm menyatakan, “Langkah hari ini berarti masalah pelanggaran telah tuntas.”

Perusahaan invetasi sekaligus pemegang saham pengendali Ericsson, Investor AB, menegaskan penyelesaian denda ini jadi akhir yang positif. “Perusahaan sekarang dapat fokus pada [bisnis] strateginya,” kata juru bicara Viveka Hirdman-Ryrberg. “Kami mendukung dari belakang seluruh Board dan dan CEO, serta langkah  yang telah mereka ambil.”

Departemen Kehakiman AS menerangkan, Ericsson melanggar  kesepakatan pada 2019 atas kewajibannya. Saat itu Ericsson setuju membayar US$ 1 miliar terkait skenario yang ada di Djibouti dan China. Dalam sebuah pernyataan Ericsson juga punya potensi melakukan pelanggaran di Irak. 

Ericsson berjanji "membereskan aksi" usai kesepakatan awal, kata Damian Williams, Jaksa AS untuk Distrik Selatan New York.

Ericsson masih menghadapi penyelidikan di AS atas kegiatannya di Irak. Ericsson mendapat tuduhan baru lewat media Swedia tahun lalu, karena diduga membayar organisasi ISIS untuk membuka akses transportasi

"Akhirnya, tidak semuanya kembali normal sebelum masalah Irak diselesaikan. Ini akan bisa memakan waktu lama," kata Analis Handelsbanken, Daniel Djurberg dalam sebuah catatan Jumat. Namun, penangguhan kasus penuntutan “menandai langkah yang jelas,” katanya.

-Dengan asistensi dari Jonas Cho Walsgard.

(bbn)

No more pages