Logo Bloomberg Technoz

Efisiensi Anggaran dan Realokasi Belanja Negara

Sejak awal 2025, Presiden Prabowo Subianto meminta kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi anggaran Rp306,69 triliun pada Tahun Anggaran 2025.

Hal itu sebagaimana termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Sejalan dengan itu, Sri Mulyani lantas menerapkan kebijakan efisiensi anggaran melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang tata cara pelaksanaan efisiensi belanja dalam APBN 2025.

Kebijakan ini mencakup belanja K/L serta Transfer ke Daerah (TKD), dengan tujuan mengalihkan anggaran dari kegiatan yang kurang produktif ke program prioritas Presiden sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 ayat (3) beleid tersebut. 

Beleid itu juga tidak lagi memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari sebelumnya 16 menjadi 15 pos dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025 beberapa waktu lalu.

Beberapa pos anggaran tersebut meliputi peralatan tulis kantor (ATK);  diklat dan bimtek; rapat, seminar, dan sejenisnya; kegiatan seremonial; lisensi aplikasi; honor atau output kegiatan dan jasa profesi; hingga percetakan dan souvenir.

Penyesuaian Transfer ke Daerah (TKD)

Sebagai bagian dari kebijakan efisiensi, Kemenkeu juga melakukan penyesuaian atas Transfer ke Daerah (TKD) 2025. Berdasarkan dokumen Nota Keuangan RAPBN 2026, alokasi belanja transfer ke daerah atau TKD memang menjadi yang paling rendah sejak 2021 atau 5 tahun terakhir. 

Pada 2021, pemerintah masih mengalokasikan TKD sebesar 785,7 triliun. Setahun setelahnya atau 2022, anggaran mengalami kenaikan 3,88% menjadi sebesar Rp816,2 triliun. Lalu pada 2023, anggaran kembali naik 7,99% menjadi Rp881,4 triliun.

Namun, selama 2024, alokasi belanja TKD kembali mengalami penurunan sebesar 2,03% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp863,5 triliun. Pada 2025, pemerintah awalnya mengalokasikan TKD sebesar Rp919 triliun, namun mengalami penurunan menjadi Rp864,1 triliun.

Sri Mulyani saat konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan T.A 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025) mengatakan penurunan anggaran ini disebabkan lantaran pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih besar kepada Kementerian/Lembaga (K/L) mencapai Rp1.498,3 triliun, yang justru mengalami kenaikan hingga 17,5% dibandingkan tahun ini. 

Belanja itu juga mayoritas ditujukan untuk mendukung program di daerah.

Pinjaman untuk Kopdes Merah Putih Melalui Bank Himbara

Pada 2025, Sri Mulyani juga menetapkan kebijakan yang membuka akses pembiayaan bagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), lewat PMK Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Pada peraturan tersebut, Sri Mulyani mengatakan, skema pinjaman dilakukan dengan ketentuan plafon pinjaman Rp3 miliar dengan tingkat suku bunga 6%.

Aturan ini bertujuan untuk menjalankan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. 

Terdapat perbedaan skema ini dengan kredit mikro biasa, yaitu adanya dukungan fiskal dari negara. Di mana, terdapat empat bank yang memberikan pinjaman ke koperasi desa ini yakni, BRI, Mandiri, BNI, dan BSI.

Penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk Pembiayaan Kopdes

Dalam PMK Nomor 63 Tahun 2025, pemerintah mengatur penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN 2025 sebesar Rp16 triliun pada bank-bank Himbara. 

Hal ini dilakukan dalam rangka pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih/Koperasi Kelurahan Merah Putih, perlu dilakukan sinergi pendanaan antara pemerintah dan bank.

"Untuk memberikan dukungan kepada bank yang menyalurkan pinjaman kepada Koperasi Desa, pemerintah menggunakan SAL untuk penempatan dana pada bank. Besaran penggunaan SAL yakni sebesar Rp16 triliun," demikian tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2 dan 3 PMK Nomor 63 Tahun 2025, dikutip Selasa (2/9/2025).

Penggunaan SAL dilakukan dengan pemindahbukuan dana SAL dari rekening kas SAL ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN) dalam rupiah sebesar besaran dana SAL.

Sebagai informasi, RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang dibuka oleh Bendahara Umum Negara (BUN)/ Kuasa BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.

Mekanisme pemindahbukuan dana SAL dilaksanakan sesuai dengan peraturan mengenai pengelolaan SAL.  Dalam hal ini, penggunaan SAL dicatat sebagai penerimaan pembiayaan pada APBN tahun anggaran 2025. Sementara itu, penggunaan SAL dari RKUN untuk penempatan dana pada bank dicatat sebagai investasi pemerintah non-permanen.

Skema Burden Sharing Jilid II dengan Bank Indonesia

Pada 2025, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia juga diketahui kembali menyepakati skema burden sharing atau pembagian beban pembiayaan. 

Sebagai catatan, skemaini muncul pertama kali saat pandemi Covid-19 sebagai langkah darurat untuk menurunkan biaya pinjaman pemerintah sekaligus menjaga stabilitas pasar keuangan.

Berbeda dengan kebijakan pembiayaan normal, burden sharing bersifat sementara dan hanya dapat digunakan ketika negara menghadapi krisis yang mengancam perekonomian. 

Sementara, skema burden sharing pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini dilakukan untuk mendukung pembiayaan dua program prioritas pemerintah, yakni Program Perumahan Rakyat dan Program Koperasi Desa Merah Putih. Pembagian beban bunga dilakukan secara proporsional 50:50.

Dengan demikian, pemerintah dan BI masing-masing menanggung bunga sekitar 2,9% untuk program perumahan rakyat dan 2,15% untuk program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sebagaimana dicontohkan Gubernur BI Perry Warjiyo.

"Kami sampaikan sampai dengan kemarin [Senin 1 September 2025] kami sudah membeli SBN Rp200 triliun dan itu konsisten dengan kami memang mau ekspansif kebijakan moneternya. Penurunan suku bunga dan kemudian kami ekspansif menambah likuiditas dengan cara membeli SBN dari pasar sekunder sesuai kaidah-kaidah kebijakan moneter," jelas Perry.

Dalam pelaksanaannya, pembagian beban dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening Pemerintah yang ada di Bank Indonesia sejalan dengan peran Bank Indonesia sebagai pemegang kas Pemerintah sebagaimana Pasal 52 Undang Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Terobosan Fiskal Purbaya Sepanjang 2025

Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam membantu perkembangan ekonomi nasional belakangan memang menjadi sorotan seluruh masyarakat Indonesia sejak pertama kali dilantik pada awal September lalu.

Hingga tutup tahun ini, itu artinya Purbaya genap resmi menjabat sebagai Bendahara Negara selama 4 bulan. Tetapi, dalam waktu singkat itu, dirinya tercatat membuat sejumlah gebrakan kebijakan cukup prestisius.

Hal itu pun langsung menjadi pusat perhatian publik dan pasar atas berbagai terobosan; mulai dari kebijakan fiskal, administrasi perpajakan, dan reformasi kelembagaan yang ia gagas dalam waktu relatif singkat.

Berikut sejumlah kebijakan fiskal Purbaya sepanjang 2025:

Suntikan Likuiditas ke Perbankan Rp276 Triliun

Salah satu kebijakan paling mencolok di awal masa jabatan Purbaya adalah penempatan dana kas negara senilai Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke lima Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong kredit kepada sektor riil, terutama saat ekonomi masih lesu.

Hal yang menarik, kebijakan tersebut dilakukan kurang dari sepekan saat menjabat. Secara terperinci, dana tersebut ditujukan ke Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) masing-masing memperoleh likuiditas sebesar Rp55 triliun. 

Kemudian, Bank Tabungan Negara (BTN) Rp25 triliun, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp10 triliun. Pada 10 November, dia kembali menambah suntikan dana senilai Rp76 triliun, yang menjadikan total sebesar Rp267 triliun.

Penambahan dilakukan kepada Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BNI senilai masing-masing Rp25 triliun. Lalu, ada satu Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bank DKI Jakarta senilai Rp1 triliun.

"Saya sudah lapor ke Presiden [Prabowo Subianto], saya akan taruh uang ke sistem perbankan," kata Purbaya saat itu.

Revisi Defisit APBN 2026

Dia juga memberikan sinyal untuk kembali membahas ulang mengenai penetapan proyeksi angka defisit APBN yang telah tercantum dalam RAPBN 2026 mendatang.

Dalam RAPBN tersebut, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya resmi mematok defisit APBN sebesar 2,48% atau setara Rp638,8 triliun dari total target penerimaan negara yang juga telah dipatok sebesar Rp3.147 triliun.

"Ada perubahan sedikit pasti," ujar Purbaya kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). "Bisa berubah. Bisa naik, bisa turun," imbuhnya menegaskan.

Hanya saja, Purbaya belum bisa memastikan apakah perubahan target defisit tersebut akan naik atau turun. Keputusan, kata dia, masih bergantung dalam diskusi dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Namun, bersamaan dengan itu, dia memastikan sejak awal masa jabatannya bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dijaga tetap di bawah batas maksimum 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai ketentuan Undang-undang.

Transformasi Direktorat Jenderal Bea Cukai

Mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tersebut belakangan juga sempat melancarkan serangkaian reformasi struktural di Bea Cukai, dengan melontarkan ancaman.

Ancaman tersebut yakni melakukan pembekuan otoritas kepabeanan negara, dan digantikan dengan lembaga swasta untuk mengawasi arus barang di wilayah perbatasan seperti SGS Group.

Namun, dirinya memberikan waktu selama 1 tahun kepada Bea Cukai untuk memperbaiki kelembagaannya yang telah memiliki citra negatif di masyarakat Indonesia, dan dianggap menjadi bagian dari maraknya barang ilegal masuk ke dalam negeri dan mengancam industri domestik.

Dari ancaman tersebut, Bea Cukai perlahan mulai menunjukkan perbaikan dengan memperketat pengawasan pelabuhan lewat penggunaan teknologi modern seperti sistem otomatis di pabrik rokok dan penggunaan artificial intelligence (AI) untuk meminimalkan praktik ilegal seperti under-invoicing.

Usai ancaman itu, bea cukai juag tercatat kerap melakukan tindakan pemusnahan berbagai barang ilegal seperti rokok, minuman keras, hingga pakaian, termasuk patroli di wilayah-wilayah rawan dalam negeri.

Pembukaan Layanan Aduan 'Lapor Pak Purbaya'

Pada Oktober 2025, Kemenkeu membuka kanal aduan publik lewat WhatsApp bernama “Lapor Pak Purbaya” untuk memfasilitasi masyarakat menyampaikan keluhan terkait pelayanan pajak maupun bea dan cukai. Layanan ini menerima lebih dari 15.000 aduan publik dalam beberapa hari awal.

Layanan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan transparansi, responsivitas, dan akuntabilitas layanan fiskal negara kepada masyarakat serta memperbaiki budaya pelayanan publik di instansi teknis Kemenkeu.

Optimalisasi Pengelolaan Fiskal 

Purbaya sering menunjuk perlunya pendekatan pro-growth terhadap manajemen fiskal, termasuk optimasi uang yang ada ketimbang kebijakan ekspansif besar-besaran. Ia juga mendorong daerah agar mengelola anggaran secara efisien untuk memaksimalkan belanja produktif.

Hal itu dilakukan dengan sejumlah langkah seperti mendatangi sejumlah Kementerian/Lembaga (K/L) yang masih belum maksimal dalam pengelolaan belanja anggaran hingga pemotongan TKD.

Dari langkah tersebut, dia juga kerap melakukan relokasi anggaran belanja K/L dari hasil efisiensi guna membiayai kebutuhan prioritas, seperti penanganan bencana dan perlindungan masyarakat terdampak, yang saat ini telah mencapai Rp60 triliun.

Batal Naikkan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Belakangan, dia juga memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2026. Keputusan tersebut berangkat hasil audiensi dirinya bersama kalangan industri hasil tembakau (IHT) terkait.

IHT belakangan juga tengah menghadapi tekanan produksi dan dinamika konsumsi, termasuk fenomena downtrading (konsumen beralih ke rokok lebih murah) dan meningkatnya peredaran rokok ilegal.

Alasannya, keputusan itu dipandang sebagai bentuk keberpihakan terhadap IHT, sebuah sektor yang menyerap jutaan tenaga kerja — dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga distributor.

"Rokok saya [pastikan] nggak dinaikin cukainya," ujar Purbaya dalam sesi wawancara dengan Bloomberg Technoz di Jakarta, akhir September lalu.

Sebagai gantinya, Purbaya mengatakan, pemerintah akan mengoptimalkan penertiban penerimaan pajak eksisting, baik melalui kepabeanan dan cukai maupun optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga perbaikan coretax.

Pemerintah, kata dia, juga akan membuat tim debottlenecking yang ditujukan untuk menerima pengaduan kelancaran dunia usaha dari berbagai hambatan langsung maupun tidak langsung dalam proses investasi yang masuk ke Tanah Air.

"Untuk pajak, saya akan tertibkan. Pajak, biaya cukai, segala macam. Nanti saya akan buka pengaduan langsung ke Menteri Keuangan," tutur dia.

(ibn/lav)

No more pages