Logo Bloomberg Technoz

Jika benar-benar terwujud, arah pergerakan antara ekspor dan impor yang berbeda ini perlu dicermati lebih lanjut. Sebab, jika impor benar-benar pulih, sedangkan ekspor masih terkontraksi maka surplus neraca perdagangan berisiko menyempit secara signifikan. Padahal, surplus neraca ini jadi penyangga volatilitas nilai tukar rupiah.

Untuk November, konsensus pasar menghasilkan median proyeksi surplus neraca perdagangan sebesar US$ 3,06 miliar. Lebih tinggi ketimbang Oktober yaitu US$ 2,39 miliar.

Meski demikian, ada risiko surplus neraca perdagangan bisa kian menyusut. Ini karena target ambisius pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, yang bisa berdampak kepada lonjakan impor.

“Surplus akan terjaga meski mungkin menipis karena kemungkinan laju impor akan melampaui ekspor karena kebijakan pemerintah yang pro-pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan impor berupa barang modal atau bahan baku untuk keperluan produksi dan investasi,” sebut Faisal Rachman, Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), beberapa waktu lalu.

Faktor Penghambat

Secara struktural, data kinerja ini mengungkap bahwa ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas primer yang sensitif terhadap siklus global dan normalisasi harga. Misalnya, batu bara, crude palm oil alias minyak kelapa sawit, nikel, dan produk mineral mentah atau setengah jadi membuat kinerja ekspor masih sensitif terhadap fluktuasi harga global.

Contohnya, lonjakan ekspor yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya lebih didorong oleh kenaikan harga, bukan volume atau peningkatan nilai tambah. 

Jika terdapat normalisasi harga komoditas, maka nilai ekspor langsung terkoreksi meski sebenarnya secara volume relatif stabil. Artinya, jika ekspor masih mengandalkan komoditas primer dan belum ada diversifikasi produk manufaktur atau jasa bernilai tambah tinggi, ekspor Indonesia akan terus berada dalam pola atau siklus yang sama, dan sulit menjadi penopang stabilitas jangka panjang. 

Di sisi lain, impor, khususnya terkait bahan baku dan barang modal mencerminkan kebutuhan pertumbuhan domestik yang belum bisa mengandalkan pasokan dalam negeri. Artinya, mesin pertumbuhan domestik masih sangat bergantung pada pasokan luar negeri bukan hanya bahan baku industri tapi juga untuk ekspansi industri. Seperti kebutuhan akan mesin, peralatan listrik, hingga alat berat sebagian besar masih mengandalkan impor. 

Dampak ke Rupiah

Bagi pasar keuangan, kondisi ekspor yang lemah dan pulihnya impor dapat menyebabkan pasokan devisa dari sektor riil berkurang. Sedangkan kebutuhan akan valuta asing untuk pembayaran impor terus meningkat.

Dalam kondisi yang cenderung normal, tekanan ini mungkin saja masih bisa diredam oleh arus modal dari investor asing yang masuk. Tapi jika volatilitas global kembali meningkat, rupiah dapat menjadi lebih rentan terhadap pelemahan.

Artinya, stabilitas rupiah tahun depan mungkin akan semakin bergantung pada faktor keuangan dan kondisi cadangan devisa, bukan kekuatan fundamental perdagangan. Ketergantungan ini bisa membuat rupiah lebih sensitif terhadap perubahan sentimen global yang terjadi, serta mempersempit ruang otoritas moneter untuk bersikap akomodatif lantaran ada potensi penyempitan surplus perdagangan. 

Sebagai catatan, cadangan devisa Indonesia saat ini cukup positif dan tercatat US$150,1 miliar per akhir November. Bank Indonesia (BI) menyebut jumlah ini cukup untuk menutupi 6,2 bulan impor, atau 6 bulan jika termasuk pembayaran utang pemerintah. 

Akan tetapi, jika tekanan impor terus meningkat sementara ekspor belum kunjung pulih, BI mau tak mau harus mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, atau paling tidak, lagi-lagi mengandalkan instrumen stabilitas likuiditas dan intervensi valas. 

Konsekuensinya, bisa jadi pelonggaran moneter sebagai kontribusi oleh BI yang diharapkan Kementerian Keuangan ke sektor riil bisa terhambat, sehingga pemulihan ekonomi domestik jadi berjalan lebih lambat dari ekspektasi. 

(dsp/aji)

No more pages