Langkah ini menandai eskalasi tekanan pemerintahan Trump terhadap Maduro, yang dituduh memimpin operasi perdagangan narkotika. Pekan lalu, AS menyita sebuah kapal tanker minyak yang dikenai sanksi di lepas pantai Venezuela.
Sebelumnya, armada yang terdiri dari empat supertanker yang semula menuju Venezuela berbalik arah setelah penyitaan kapal tanker yang disanksi, bernama The Skipper.
Pentagon juga telah melakukan lebih dari 20 serangan terhadap kapal-kapal yang diduga terlibat perdagangan narkoba di perairan dekat Venezuela dan Kolombia, menewaskan puluhan orang. Trump beberapa kali menyatakan bahwa AS dapat melancarkan serangan darat dan bahwa Maduro seharusnya disingkirkan dari kekuasaan.
Pemerintah Maduro menggambarkan tindakan AS sebagai upaya perebutan cadangan minyak Venezuela, yang merupakan yang terbesar di dunia.
Perekonomian negara yang dipimpin pemerintahan sosialis itu telah tertekan sejak Trump memperketat pembatasan perdagangan minyak awal tahun ini. Pasokan dolar pemerintah — yang hampir seluruhnya bergantung pada penjualan minyak mentah — telah turun sekitar 30% dalam sepuluh bulan pertama 2025. Tekanan ini melemahkan nilai tukar dan mendorong kenaikan harga, dengan inflasi tahunan diperkirakan melampaui 400% pada akhir tahun, menurut estimasi swasta para ekonom lokal yang meminta identitasnya dirahasiakan karena khawatir akan pembalasan.
Meski perusahaan minyak negara Petroleos de Venezuela SA (PDVSA) menguasai industri perminyakan nasional, perusahaan itu bekerja sama dengan mitra internasional, termasuk Chevron Corp yang berbasis di Houston, untuk melakukan pengeboran di berbagai wilayah. Dalam skema yang berlaku saat ini, Chevron membayar Venezuela sebagian dari minyak yang diproduksi bersama PDVSA dalam usaha patungan, berdasarkan lisensi dari Departemen Keuangan AS yang memberikan pengecualian sanksi bagi perusahaan Amerika tersebut.
Chevron menurunkan harga minyak mentah Venezuela yang ditawarkan kepada kilang-kilang AS setelah penyitaan The Skipper. Operasi Chevron di Venezuela tetap berjalan dengan mematuhi seluruh hukum dan peraturan yang berlaku, serta kerangka sanksi yang ditetapkan pemerintah AS, demikian pernyataan perusahaan saat itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, Maduro menyerukan persatuan warga untuk melawan apa yang disebutnya sebagai ancaman dari AS, serta mengajak masyarakat bergabung dengan milisi sipil yang diklaimnya telah beranggotakan lebih dari 8 juta orang. Ia juga mengerahkan pasukan, kapal, pesawat, dan drone ke perbatasan dengan Kolombia, sejumlah wilayah pesisir, serta sebuah pulau.
Awal pekan ini, Maduro menyebut penyitaan kapal tanker oleh AS sebagai tindakan “kriminal dan ilegal.”
Kepala Staf Gedung Putih Susie Wiles, dalam wawancara dengan Vanity Fair yang dipublikasikan Selasa, mengisyaratkan bahwa motif Trump dalam bertindak terhadap Venezuela berfokus pada upaya menekan Maduro.
Trump “ingin terus menenggelamkan kapal-kapal itu sampai Maduro menyerah,” ujar Wiles. “Dan orang-orang yang jauh lebih pintar dari saya mengatakan bahwa hal itu akan terjadi.”
(bbn)































