Logo Bloomberg Technoz

“Saya cari informasi ecoprint di internet, hampir tidak ada. Minim sekali. Di situ saya langsung mikir, ini menarik,” kenangnya.

Bukan hanya karena teknisnya, tapi karena gagasannya. Ecoprint menggunakan bahan dari alam sekitar—daun, bunga, ranting—dan membawa isu keberlanjutan yang kuat.

“Isunya seksi. Sampai kapan pun ecoprint akan jadi pilihan,” ujarnya yakin.

Koleksi sepatu Jarihitam Ecoprint. (Sumber: Sultan Ibnu/Bloomberg Technoz)

Dua Bulan Menyepi, Tiga Bulan Membuka Kelas

Saat itu, Pak Iwang sebenarnya bekerja di bidang observatorium. Namun ia memilih berhenti sejenak dan mengurung diri selama dua bulan penuh. Ia bereksperimen—mencoba kain, daun, teknik, hingga akhirnya menemukan formulasi yang tepat.

Tak lama setelah itu, langkah yang terbilang nekat diambil: membuka kelas ecoprint.

“Saya buka kelas bukan cuma soal bisnis. Saya ingin mensyiarkan ecoprint. Kalau banyak yang belajar, harapannya mereka juga menanam. Itu yang paling penting,” katanya.

Ia juga tak segan mengkritik pelaku ecoprint yang abai terhadap alam.

“Jangan cuma ambil, habis pindah tempat, ambil lagi. Itu bukan ecoprint, itu hama,” ujarnya tegas.

Modal Rp25 Juta

Irfan mengatakan, modal awal Jari Hitam relatif kecil—sekitar Rp25 juta, dikumpulkan bertahap. Sejak awal, produknya langsung dipasarkan lewat pameran offline. Pak Iwang percaya, ecoprint harus disentuh, dilihat, dan dirasakan.

Produk Jari Hitam berkembang pesat. Dari kain, merambah ke fashion, dress, sepatu, sandal, kerudung, hingga home décor. Dari semuanya, fashion menjadi tulang punggung penjualan, disusul alas kaki.

Yang membuatnya bernilai tinggi adalah sifatnya yang mustahil diseragamkan. “Daun satu batang saja, atas dan bawahnya beda. Saya suruh bikin sama, enggak bisa. Semua limited,” katanya.

Dari Bandung ke Belgia, Prancis, hingga Rusia

Nama Jari Hitam mulai dikenal luas pada 2018. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi melirik, lalu membawa Pak Iwang ke berbagai misi dagang internasional.

Sejak itu, produknya melanglang buana ke Belgia, Prancis, Jerman, New Zealand, hingga menjalin kerja sama ekspor cukup panjang dengan Rusia (2024–2025).

Kerja sama dengan buyer Rusia bahkan sempat diwarnai drama. Satu kontainer produk ditolak karena spesifikasi kain tak sesuai label.“Mereka marah. Saya bilang, silakan cek sendiri ke pabrik kainnya,” ujar Pak Iwang.

Hasilnya, masalah bukan pada Jari Hitam. Buyer akhirnya mencari bahan sendiri, sementara proses ecoprint tetap dikerjakan di Indonesia. Kerja sama berhenti sementara bukan karena permintaan turun, melainkan karena bahan baku habis.

Menghidupi Lingkungan, Berdayakan Ahli Waris

Hari ini, Jari Hitam tak lagi dikerjakan sendirian. Warga sekitar terlibat—menjahit, menyiapkan bahan, hingga proses produksi. “Saya ambil dari alam, saya juga harus memberi ke masyarakat,” katanya.

Dengan perjalanan panjang tersebut, Irfan menuai hasil. Kini, omzet usaha sudah mencapai berkisar antara Rp40–50 juta per bulan. Seluruh proses tetap handmade. Murid-murid ecoprint pun diberi ruang untuk memproduksi dan menjual karyanya.

Bagi Pak Iwang, kekhawatiran terbesar dulu adalah order besar. Kini, itu justru menjadi harapan.

“Dulu saya takut kewalahan. Sekarang, setelah punya banyak murid—berapa pun, hayuk,” katanya.

Dari dedaunan di pekarangan hingga panggung internasional, Jari Hitam Ecoprint membuktikan bahwa fesyen ramah lingkungan bukan sekadar tren—melainkan karya, nilai, dan jalan hidup yang lahir dari sepasang tangan hitam yang tak pernah berhenti bekerja.

Kolaborasi Jari Hitam semakin luas melalui Telatan Nusantara, wadah UMKM yang didirikan Jejen Ahmar Jaenur itu,dan kini memiliki delapan butik di hotel-hotel Bandung. Produk UMKM lokal dipasarkan dengan pendekatan kearifan lokal.

Dari sinilah kolaborasi dengan Jasa Raharja Jawa Barat bermula—khususnya untuk pemberdayaan ahli waris korban kecelakaan lewat program tanggungjawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan.

Dalam kesempatan yang sama, Yudi Wirawan, perwakilan kantor Jasa Raharja Jawa Barat menegaskan, ecoprint dipilih karena dampaknya nyata.

“Kami ingin ahli waris korban kecelakaan tetap punya penghasilan. Ecoprint ini lengkap, dari produksi sampai pemasaran. Tidak dilepas di tengah jalan,” kata Yudi.

Menurutnya, pendekatan ini membuat para binaan tidak hanya terampil, tetapi juga siap masuk pasar. “Dengan jejaring yang dibangun, kapan pun ada permintaan, produksi bisa jalan,” ujarnya.

Jasa Raharja sendiri merupakan anak perusahaan dari Holding BUMN sektor asuransi, penjaminan, dan investasi Indonesia Financial Group (IFG).

Meski berada di bawah IFG, Jasa Raharja tetap menjalankan mandat khusus sebagai penyelenggara asuransi sosial bagi korban kecelakaan lalu lintas, sekaligus melaksanakan program tanggung jawab sosial melalui pembinaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

No more pages