Direktur Komite Bahan Baku Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Irsyal Yasman mengatakan pada perjanjian ACFTA industri kertas masih punya ruang gerak lantaran masih ada tarif resiprokal apabila China mengenakan tarif masuk ke negara tersebut. Namun, perjanjian RCEP dinilai sangat merugikan industri kertas, pun industri-industri lainnya yang ada di Indonesia.
“Di RCEP ini, ini betul-betul tantangan bagi industri pulp dan kertas. Mengapa? Karena kita membebaskan hampir semua 224 HS [Harmonized System], 0 tarif dari China kepada kita. Sementara kita masih, kita nanti akan, China akan membebaskan hanya 13 HS” ujar Irsyad.
Tantangan di masa mendatang menurut Irsyad semakin memprihatinkan lagi. Pasalnya, Kementerian Perdagangan melalui permendag No 37 tahun 2025 yang tengah disosialisasikan mulai pekan inio, membebaskan lebih banyak barang dari China.
“Nah, yang mengkhawatirkan kami lagi adalah revisi peraturan Menteri Perdagangan yang mulai berlaku tanggal 29 Agustus ini. Dimana 441 HS untuk produk kayu dan kehutanan termasuk pulp dan kertas, itu juga tanpa lagi ada alat kontrol yang namanya, jadi bebas masuk sebebas-bebasnya. Alat kontrol satu-satunya oleh pemerintah melalui deklarasi impor oleh Kementerian Kehutanan.” kata Irsyad
“Kita sangat khawatir bahwa pembebasan 441 HS ini akan membanjiri juga produk-produk China ke Indonesia. Baik itu kategorinya bahan baku maupun produk jadi.” sahutnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengatakan bahwa saat ini pihaknya mencatat hal tersebut. Usai mendengar banyak keluhan dari pengusaha, menurutnya banyak perjanjian internasional yang diteken oleh Indonesia tak menguntungkan RI.
“Kemarin kita bertemu dengan industri karet, sawit dan lain-lain, itu keluhannya sama pak, perjanjian internasional ini tidak win-win ya pak, jadi menguntungkan yang lain negara lain, tapi kita dirugikan” kata Evita, Rabu (12/11/2025)
“Ini kayaknya harus kita evaluasi ya pak ya” imbuhnya.
(bbn)































