Dia menjelaskan, ketika harga pasar emas sedang tinggi, penambang wajar menginginkan harga pembelian oleh Antam mengikuti harga pasar agar margin tetap terjaga.
Di sisi lain, Antam bisa keberatan membeli dengan harga pasar karena hal itu berpotensi meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing produk akhir.
Solusi Realistis
Menurut Ali, salah satu solusi realistis yang bisa diterapkan ialah formula harga pembelian yang tetap mengacu pada harga pasar emas, tetapi dikurangi dengan biaya pengolahan tambahan akibat mineral ikutan. Dengan begitu, harga tetap adil bagi penambang dan efisien bagi Antam.
Selain itu, dia menilai pemerintah dapat memberikan insentif atau subsidi tertentu untuk membantu Antam dalam menyerap emas dari penambang, terutama ketika biaya meningkat akibat mineral ikutan.
Dukungan terhadap inovasi teknologi pemisahan mineral ikutan juga dinilai penting agar nilai tambah dapat dioptimalkan sekaligus menekan biaya produksi.
Sejalan dengan itu, PUSKEP UI mengusulkan agar regulasi DMO emas disusun secara fleksibel dan transparan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk penambang, Antam, pemerintah, dan asosiasi industri.
“Regulasi yang transparan akan membantu tercapainya kesepakatan harga yang adil dan mekanisme penyesuaian yang sesuai kondisi pasar,” tulis PUSKEP UI dalam rekomendasinya yang disampaikan oleh Ali.
Selain penguatan regulasi, Puskep UI juga menyarankan agar pemerintah meningkatkan kapasitas teknis dan pengawasan agar mineral ikutan tidak menjadi beban berlebih bagi industri, serta menyediakan dukungan fiskal guna menjaga kelancaran penyerapan emas domestik tanpa menimbulkan distorsi harga.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono membenarkan salah satu faktor yang membuat Antam kekurangan pasokan emas, hingga harus mengimpor 30 ton per tahun, terjadi akibat perseroan enggan menyerap emas beserta mineral ikutannya yang ditawarkan penambang dalam negeri.
Sudirman menyatakan salah satu perusahaan tambang sempat mengemukakan mereka enggan menjual emasnya ke Antam.
Penyebabnya, perusahaan tambang pelat merah tersebut hanya bersedia membeli emas tanpa membeli mineral ikutan lainnya, seperti perak serta mineral lainnya.
Permasalahannya, terang Sudirman, jika Antam hanya membeli emas dari penambang dalam negeri tanpa membeli mineral ikutannya seperti perak, perusahaan tersebut akan kesulitan menjual peraknya secara terpisah.
“Pihak Antam hanya bersedia untuk membeli emasnya saja tanpa bersedia untuk membeli mineral ikutan lainnya seperti perak untuk dibeli secara bundling dengan komoditas emasnya,” tuturnya.
Sudirman menilai jika kebijakan DMO emas diberlakukan, maka pemerintah harus bersikap adil dalam menentukan harga jual–beli bagi produsen dan konsumen; yakni Antam.
Dia menyarankan agar pemerintah mengharuskan pembelian emas dilakukan secara business to business (B2B), sehingga harga jual tetap kompetitif dengan harga emas di pasar internasional.
“Mengeluarkan kebijakan DMO, apakah itu secara permanen atau sementara waktu? Bisa saja dilakukan oleh pemerintah guna menjaga pasokan dalam negeri bisa mencukupi kebutuhan masyarakat,” ungkap Sudirman.
Bagaimanapun, Sudirman mengamini bahwa sebenarnya impor Antam bisa dipangkas jika kesepakatan pembelian emas dari PT Freeport Indonesia (PTFI) bisa segera direalisasikan, sebab kedua perusahaan tersebut telah meneken perjanjian jual–beli emas sebanyak 3 ton per tahun dalam jangka waktu 5 tahun.
“Namun, sayangnya memang produksi Freeport saat ini masih terganggu sebagai akibat dari kecelakaan longsor material basah. Akibatnya, produksi Freeport harus terhenti untuk sementara waktu hingga beberapa bulan ke depan,” ujar Sudirman.
“Pada saat produksi Freeport sudah kembali normal, diharapkan kebutuhan akan emas PT Antam yang saat ini terpaksa masih harus diimpor bisa dipenuhi oleh Freeport."
Rencana penerapan DMO emas sebelumnya muncul karena pasokan emas domestik masih terbatas. Antam masih mengimpor sekitar 30 ton emas per tahun dari Singapura dan Australia untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, sementara kapasitas produksinya sendiri hanya sekitar 1 ton per tahun dari tambang Pongkor.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Dirjen Minerba Tri Winarno menyebutkan kebijakan DMO masih dalam tahap kajian.
Dia menilai skema ini bisa bersifat sementara, misalnya hingga produksi PT Freeport Indonesia kembali normal setelah insiden longsor di tambang Grasberg Block Cave (GBC).
Tri menegaskan bahwa DMO dirancang agar tidak menimbulkan penumpukan stok emas di dalam negeri. Pemerintah juga tengah mengevaluasi kebijakan ekspor-impor dan mekanisme pajak agar kebijakan tersebut efektif mengurangi ketergantungan impor.
Dari sisi industri, Antam menyambut positif rencana tersebut sebagai langkah untuk menutup kekurangan pasokan, namun menekankan pentingnya penetapan harga yang adil dan transparan.
Corporate Secretary Antam, Wisnu Danandi Haryanto, beberapa waktu lau mengatakan kebijakan DMO perlu memberikan keseimbangan nilai ekonomi bagi seluruh pelaku di rantai pasok emas nasional.
(wdh)































