Sementara itu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, penarikan itu akan memberikan dampak terdapat BYD yang dijual di Indonesia.
"Jelas dampaknya akan sangat berpengaruh, bahkan dampak utamanya bukan pada unit fisik yang mungkin ditarik, melainkan pada sentimen pasar dan psikologi pembeli di Indonesia," kata Yannes.
Hal ini tentu akan merepotkan, terutama di pasar EV Indonesia yang masih baru dan sangat sensitif, bahwa kepercayaan adalah aset utama. Pasalnya, menurut Yannes, berita global tentang recall BYD, menciptakan keraguan konsumen yang signifikan terhadap keamanan baterai LFP blade type yang digadang-gadang paling aman di dunia tersebut.
"Walaupun masalahnya bukan pada kimia LFP-nya, tapi pada eksekusi dan integrasinya yang konsumen awam tidak akan membedakan ini. Bahwa apa yang mereka dengar adalah mobil listrik BYD yang katanya paling aman, justru ditarik karena bisa terbakar," tambah Yannes.
"Bagi BYD, jelas ini memang menciptakan keraguan konsumen yang signifikan dan merupakan tantangan reputasi yang serius secara global. Karena BYD membangun seluruh narasi pemasarannya di atas klaim keamanan absolut baterainya, insiden ini menjadi pukulan reputasi yang sangat sensitif," jelasnya.
Nasib jangka panjang baterai LFP Blade dan reputasi BYD jelas sangat tergantung pada respons mereka selanjutnya, sebut Yannes.
"Jika BYD dapat membuktikan bahwa mereka belajar dari kesalahan dan muncul dengan standar yang lebih tinggi, keraguan ini dapat diatasi. Tapi, jika mereka dianggap menutup-nutupi, noda ketidakamanan BEV akan melekat dalam waktu yang lama dan menciptakan keraguan konsumen terhadap keamanan EV," tegasnya.
Yannes menekankan bahwa isu ini bukanlah hal yang main-main, terlebih di pasar berkembang seperti Indonesia. Ia juga menyarankan agar pemerintah turut mengambil bagian memantau isu ini secara serius.
(lav)






























