Dengan demikian, kewajiban untuk membeli listrik PLTSa dengan harga yang relatif tinggi US$20 sen per kilowatt hour (kWh) itu bakal menambah beban kontrak yang mesti ditanggung PLN untuk jangka panjang.
“PLTSa ini akan menjadi beban tambahan PLN terlebih dengan harga listrik dua sampai tiga kali lipat harga dasar saat ini,” tuturnya.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penugasan itu bakal mempersempit ruang gerak perusahaan setrum negara untuk meningkatkan investasi pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
Bhima beralasan tarif listrik yang dipatok pemerintah untuk proyek PLTSa itu relatif tidak kompetitif dibandingkan dengan tarif sumber pembangkit lainnya.
“Ini akan membuat PLN itu justru tidak memiliki ruang untuk membiayai proyek EBT lainnya,” kata Bhima saat dihubungi.
Malahan, Bhima mendorong PLN untuk menolak penugasan pembelian listrik dari PLTSa itu apabila dalam uji kelayakan proyek tidak menawarkan imbal hasil yang menarik.
“Saya kira PLN mesti menolak dalam konteks apabila uji kelayakan dari proyek dan pembelian listrik oleh PLN dianggap menjadi beban berat,” tuturnya.
Siap Lelang
Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara membeberkan terdapat 120 perusahaan yang telah bersiap untuk mengikuti putaran lelang proyek PLTSa tahap awal.
Chief Investment Officer (CIO) BPI Danantara Pandu Patria Sjahrir mengatakan 120 perusahaan itu bakal memperebutkan 10 proyek PLTSa yang akan dibuka lelang bulan depan.
Pandu berharap terdapat perusahaan atau konsorsium yang mampu memberikan penawaran teknologi paling mutakhir untuk pengelolaan sampah menjadi listrik nantinya.
“Ada 120 perusahaan dan konsorsium yang ingin bidding hanya untuk 10 proyek pertama, jadi ini massive demand,” kata Pandu di Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi meneken beleid anyar yang mengatur soal pengolahan sampah perkotaan menjadi PLTSa.
Beleid itu tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres itu diteken Prabowo pada 10 Oktober 2025.
Lewat beleid itu, Prabowo menetapkan tarif listrik yang mesti dibeli PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebesar US$20 sen per kilowatt hour (kWh) dari pengembang atau independent power producer (IPP).
Prabowo menegaskan, harga listrik yang akan tertuang dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi harga.
Malahan, Prabowo turut meniadakan ketentuan denda atau penalti (take-and-pay) yang biasanya diatur PLN pada pengembang proyek pembangkit lainnya.
Dengan demikian, pengembang pembangkit sampah tidak bakal kena denda atau penalti apabila besaran daya dalam PJBL tidak terpenuhi.
Sejumlah kemungkinan daya tidak terpenuhi itu di antaranya seperti permasalahan teknis di luar kendali pengembang dan pasokan sampah yang lebih rendah dari pemerintah daerah.
Sementara itu, PLN mesti memprioritaskan listrik dari pembangkit sampah masuk ke dalam jaringan (must dispatched), sesuai besaran energi yang diperjanjikan setiap tahun (annual contracted energy).
Adapun, jangka waktu PJBL dipatok selama 30 tahun terhitung sejak pembangkit sampah dinyatakan telah mencapai tahap operasi komersial atau commercial operation date (COD).
(naw/wdh)
































