Adapun, sembilan WK migas yang dimaksud terdiri atas; pertama, WK Natuna D Alpha yang dikelola oleh KUFPEC memiliki potensi sumber daya mencapai 2.865 juta barel minyak (MMBO) dan 46 triliun kaki kubik gas (TCF).
Kedua, WK Southwest Andaman yang digarap oleh Mubadala memiliki potensi sekitar 3.085 miliar kaki kubik gas (BSCF). Ketiga, WK Jalu yang pelaksana studinya adalah Armada Etan, memiliki potensi 2.965 BSCF.
Keempat, WK Karunia yang dikelola oleh Texcal Mahato tercatat memiliki potensi 82 juta barel minyak (MMBO) dan 132 BSCF gas.
Kelima, WK Muara Tembesi yang dikaji oleh PT Tenang Wijaya Sejahtera memiliki potensi mencapai 56 MMBO dan 953 BSCF.
Keenan, WK Abar–Anggursi menyimpan potensi sekitar 357 MMBO dan 1.804 BSCF. Ketujuh, WK Barong yang dikerjakan oleh Inpex memiliki potensi gas sebesar 2.911 BSCF.
Kedelapan, WK Drawa yang digarap oleh BP bersama konsorsium memiliki potensi 360 BSCF. Kesembilan, WK Bintuni—juga dikerjakan oleh BP dan konsorsium—memiliki potensi mencapai 2,1 TCF gas.
Rencana Kembali
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan kepastian WK migas yang diminati Shell untuk dilakukan eksplorasi akan diumumkan pada November 2025.
Pengumuman akan dilakukan setelah SKK Migas melakukan pertemuan lanjutan dengan raksasa migas Inggris tersebut.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Heru Setyadi menjelaskan tim teknis Shell saat ini masih mengevaluasi sejumlah WK migas yang potensial di Indonesia. Akan tetapi, dia enggan mengungkapkan WK mana saja yang tengah dipertimbangkan oleh Shell.
Hasil dari evaluasi itu, menurut dia akan diumumkan setelah SKK Migas dan Shell Plc melakukan pertemuan lanjutan pada bulan depan.
“Bulan November SKK Migas berencana melakukan engagement lanjutan dari pertemuan sebelumnya,” kata Heru kepada Bloomberg Technoz, Senin (13/10/2025).
“Kami akan melakukan update setelah pertemuan November nanti, terkait dengan specific area of interest dari Shell,” tegas Heru.
Ditemui terpisah, Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas Rikky Rahmat Firdaus sebelumnya mengatakan instansinya telah diundang langsung ke kantor pusat Shell pada Maret 2025 guna membahas niat investasi kembali ke hulu migas di Indonesia.
Sebagai balasan, SKK Migas lantas mengundang perwakilan Shell untuk ke Tanah Air guna menghadiri acara Indonesian Petroleum Association (IPA) Convex pada Mei.
“Beliau [perwakilan Shell] hadir dan menyampaikan secara verbal ketertarikan untuk masuk kembali ke Indonesia,” kata Rikky ditemui usai agenda laporan kinerja hulu migas semester I-2025, Senin (21/7/2025).
Minat Shell tersebut, lanjutnya, telah dibuktikan melalui persiapan perusahaan energi itu menjadi anggota Migas Data Repository (MDR), yang merupakan salah satu kewajiban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia.
Sekadar catatan, iuran keanggotaan MDR untuk mengakses data migas di Indonesia diwajibkan bagi KKKS anggota, baik yang memiliki wilayah kerja (WK) maupun tidak.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), anggota yang mengelola lebih dari 5 WK diwajibkan mengiur US$50.000, sedangkan yang memiliki 2—5 WK US$40.000, dan 1 WK US$20.000.
Sementara itu, anggota yang tidak memiliki atau terafiliasi dengan WK di Tanah Air dikenai biaya US$35.000.
Di Indonesia, saat ini Shell lebih banyak berkecimpung di lini hilir migas. Akan tetapi, rekam jejaknya di sektor hulu migas nasional cukup panjang.
Shell pernah terlibat di industri hulu migas Indonesia sebagai pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) proyek Abadi Masela; ladang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) raksasa di wilayah Tanimbar, Maluku.
Di Blok Masela, Shell bersama Inpex Corporation (Inpex) sebelumnya setuju untuk membangun fasilitas LNG dengan kapasitas tahunan sebesar 9,5 juta ton dalam kontrak pemulihan biaya senilai sekitar US$20 miliar.
Akan tetapi, pada 2020, Shell memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut dengan menjual 35% hak partisipasinya seharga US$2 miliar.
Upaya Shell untuk melakukan divestasi dari Blok Masela sejak itu berlarut-larut, sehingga menciptakan ketidakpastian seputar kelanjutan pengembangan Lapangan Abadi yang menyimpan 360 miliar meter kubik gas itu.
(azr/wdh)

































