“Arah kebijakan ini turut menyebabkan melebarnya undervaluasi rupiah, dari hanya 1% pada Januari 2025 menjadi 5% saat ini, karena transmisi kebijakan pasar keuangan masih lemah di tengah kinerja perdagangan yang tetap kuat,” papar Wisnu.
Dalam risetnya disebutkan, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$5,5 miliar pada Agustus 2025, tertinggi dalam tiga tahun, melampaui proyeksi CGS International maupun konsensus Bloomberg.
“Capaian ini mengindikasikan defisit transaksi berjalan 2025 yang rendah, yang kami perkirakan hanya sekitar 0,5% dari PDB,” jelasnya, meskipun terdapat risiko moderat akibat penutupan sementara tambang Freeport di Indonesia.
Mencermati himpitan nilai tukar rupiah, datang dari derasnya arus keluar modal portofolio. Hasil kunjungan periset ke Kuala Lumpur dan Singapura menunjukkan sejumlah hal penting.
“Investor asing semakin sensitif terhadap isu disiplin fiskal dan stabilitas politik, yang memperparah ketidakpastian global, dan kondisi ekonomi dalam negeri yang melambat; dan terjadi arus modal keluar ke Singapura, fenomena yang belum terlihat dalam beberapa tahun.”
Hal ini tercermin dari net sell investor asing di pasar saham yang mencapai US$3,2 miliar (year–to–date) — terbesar kedua setelah US$3,7 miliar pada 2018. Selain itu, pencairan instrumen SRBI juga menyebabkan outflow sebesar US$4,8 miliar sepanjang Januari–Agustus 2025.
Sokongan sebagian datang dari arus masuk obligasi pemerintah sebesar US$2,2 miliar (YTD), meskipun sempat terjadi outflow US$2,5 miliar pada September 2025, yang kemungkinan bersifat oportunistik setelah yield obligasi pemerintah turun dari 7,3% pada Maret menjadi 6,3% pada September 2025.
Kembali ke topik utama, penguatan rupiah, Wisnu menilai sejumlah kebijakan berikut berpotensi mendorong rupiah menuju nilai fundamental yang lebih kuat:
1. Menteri Keuangan Purbaya berupaya menyeimbangkan arah kebijakan pro-pertumbuhan (pro-growth) dengan keberlanjutan fiskal. Dalam Special Interview Bloomberg Technoz, Purbaya Yudhi Sadewa memastikan menegaskan, ia “tidak akan melonggarkan batasan fiskal jangka panjang sebelum membuktikan bahwa ekonomi terbesar di Asia Tenggara dapat tumbuh lebih cepat melalui pengeluaran yang lebih efisien.”
2. Kementerian Keuangan juga tengah menyiapkan kebijakan repatriasi devisa.
Di masa lalu, Indonesia mendorong repatriasi melalui program amnesti pajak dan aturan devisa hasil ekspor komoditas. Kendati belum ada jadwal resmi, Wisnu memprediksi pengumuman mendatang mungkin mencakup instrumen valas yang diterbitkan di dalam negeri.
Program amnesti pajak tampaknya tidak akan digunakan, karena:
(1) Menteri Purbaya tidak mendukung pendekatan tersebut, dan
(2) DPR telah mencabut RUU Amnesti Pajak dari daftar prioritas legislasi.
3. Purbaya juga mendorong Danantara untuk mereformasi sektor minyak dan gas.
Langkah ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan terhadap impor energi.
Konvergensi rupiah mungkin saja berjalan lebih lambat, tetapi selama proses konvergensi rupiah, stabilisasi nilai tukar akan menjadi prioritas utama, yang berpotensi menekan cadangan devisa (September 2025: US$148,7 miliar).
“Penting dicatat bahwa cadangan devisa kerap mencetak rekor tertinggi sepanjang tahun lalu, bahkan di tengah periode tekanan terhadap rupiah — menegaskan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia masih sangat kuat dan memadai untuk mendukung stabilitas nilai tukar serta ruang pelonggaran kebijakan moneter di masa mendatang,” tegas Wisnu.
Sedang Ahmad Mikail Zaini, Chief Economist Sucor Sekuritas, menyebut faktor-faktor eksternal yang positif bagi rupiah, dalam riset terbarunya 8 Oktober 2025, apabila Bank Indonesia dan pemerintah mampu menjaga stabilitas rupiah hingga tutup 2025, maka rupiah berpotensi menguat lebih lanjut pada 2026 dan seterusnya.
“Alasannya sederhana: pasokan dolar AS diperkirakan melonjak tahun depan seiring dengan jatuh temponya sejumlah besar obligasi pemerintah AS. Mencapai US$5,45 triliun akan jatuh tempo pada 2025, disusul US$5,75 triliun pada 2026,” jelas Zaini.
Untuk mengelola beban pembiayaan kembali (refinancing) yang sangat besar tersebut, Federal Reserve kemungkinan akan melakukan pemangkasan suku bunga secara agresif guna menekan biaya bunga.
Sebagian besar utang yang jatuh tempo akan digantikan dengan Treasury Bills jangka pendek pada tingkat suku bunga yang lebih rendah, sehingga mengurangi pasokan obligasi jangka panjang.
Kelangkaan surat utang jangka panjang ini akan menekan imbal hasil (yield) tenor panjang, yang pada gilirannya membuat obligasi pemerintah Indonesia berjangka panjang menjadi lebih menarik
Saat ini, selisih imbal hasil (yield spread) antara obligasi 10 tahun AS dan Indonesia berada di 208 basis poin, tertinggi dibanding rata–rata negara–negara ASEAN yang ada di rentang 120 basis poin.
“Oleh karena itu, jika BI dan Kementerian Keuangan mampu menjaga stabilitas rupiah hingga tutup tahun 2025, maka penguatan rupiah akan lebih mudah terjadi tahun depan,” tegas Zaini.
(fad/aji)































