“Pak Menkeu [Purbaya Yudhi Sadewa] benar. Zaman Soeharto setiap 10 tahun terbangun 1 refinery, entah skala menengah atau besar. Sejak Reformasi memang belum ada refinery baru. Bukan salah reformasinya, tetapi salah dari sisi perecanaan dan forecasting-nya,” kata Hadi saat dihubungi, Rabu (8/10/2025).
Tren Migrasi
Hadi menyatakan, tren migrasi dari energi fosil ke energi baru terbarukan juga turut memengaruhi kelancaraan pendanaan ke proyek-proyek hilir migas, termasuk kilang.
“Secara umum mengapa pengadaan seret? Karena IRR proyek kilang kecil, pay of time lama, capex–opex besar sekali,” Hadi menegaskan.
Untuk itu, Hadi mendorong agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk duduk bersama mendiskusikan solusi yang akan ditempuh dalam membangun kilang di Indonesia.
Tangki Dahulu
Bahkan, dia merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan menyebar tangki penyimpanan atau storage tank bahan bakar minyak (BBM) terlebih dahulu, sebelum membangun kilang minyak baru.
Dia beralasan, proyek tangki penyimpanan BBM memiliki nilai investasi yang lebih rendah yakni hanya sekitar 10% dari total biaya pembangunan kilang. Dengan demikian, storage BBM tersebut bisa dibangun di sejumlah titik di wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan kilang.
“Dari dua hal tersebut, kelihatan sekali bahwa membangun storage BBM di beberapa tempat strategis jauh lebih menguntungkan,” ungkap dia.
Selain itu, Hadi memandang Indonesia bukan negara eksportir minyak seperti dahulu, sehingga saat ini pembangunan kilang baru dinilai tidak lagi menjadi prioritas.
“Opsi membangun kilang dan membangun storage, keduanya impor. Membangun kilang juga impor crude. Membangun storage BBM juga impor BBM,” kata Hadi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa merasa kesal akibat mandeknya investasi kilang baru pada perusahaan pelat merah tersebut.
Purbaya membeberkan Pertamina belum membangun kilang baru sejak krisis 1998 yang berakibat pada ikut naiknya belanja impor BBM setiap tahunnya.
Konsekuensinya, Pertamina mesti membeli BBM dari Singapura untuk menambal kebutuhan domestik yang terus meningkat.
“Sejak krisis sampai sekarang tidak ada kilang baru, kalau bapak ibu ketemu Danantara lagi, minta Pertamina bangun kilang baru,” kata Purbaya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (30/9/2025) lalu.
Purbaya juga menyatakan Pertamina sempat berjanji membangun tujuh kilang baru dalam 5 tahun pada 2018.
Bahkan, dia membeberkan, sempat menawarkan Pertamina untuk bekerja sama dengan perusahaan China untuk membangun kilang di dalam negeri. Hanya saja, menurut dia, tawaran itu ditolak Pertamina karena merencanakan pembangunan tujuh kilang baru tersebut.
“Pertamina bilang keberatan dengan usul tersebut karena sudah overkapasitas. Waktu itu saya kaget, 'overkapasitas apa?'” ujarnya.
Tak berselang lama, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengaku enggan berkomentar lebih jauh mengenai pernyataan Purbaya. Hal yang terang, Bahlil memastikan Kementerian ESDM terus mengawal proses pembangunan kilang yang sedang dijalankan Pertamina.
"Saya tidak mau mengomentari pernyataan orang lain. Silakan ditanyakan kepada orang yang mengomentari. Tugas saya adalah bagaimana memastikan agar mengawasi teman-teman, dengan Pertamina untuk yang kilang-kilang lagi berjalan," kata Bahlil.
Dalam perkembangannya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menilai positif kritikan yang disampaikan Purbaya terkait dengan investasi Pertamina yang cenderung lamban untuk pembangunan kilang.
“Tentunya itu menjadi masukan berharga buat kami,” kata Simon kepada awak media di Jakarta, Selasa (7/10/2025)
Di sisi lain, Simon mengatakan, Pertamina bakal membawa onstream proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan pada November 2025. Dia berharap jadwal onstream proyek ekspansi kilang itu bisa mengurangi ketergantungan impor BBM domestik tahun depan.
Rencananya proyek RDMP Balikpapan bakal mengerek kapasitas unit distilasi minyak mentah atau crude distillation unit (CDU) dari 260.000 barel per hari (bph) menjadi 360.000 bph, sehingga total kapasitas CDU Indonesia diharapkan meningkat dari 1,17 juta bph menjadi 1,26 juta bph pada akhir 2025.
Adapun, Pertamina mengendalikan bisnis penyulingan minyak lewat anak usahanya, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI). Saat ini, KPI mengoperasikan enam kilang dengan kapasitas pengolahan mencapai 1 juta barel per hari.
Sejumlah kilang itu termasuk refinery unit (RU) II Dumai dengan kapasitas 170.000 barel minyak per hari (bph), RU III Plaju berkapasitas 126.000 bph, RU IV Cilacap berkapasitas 348.000 bph, RU V Balikpapan berkapasitas 360.000 bph, RU VI Balongan berkapasitas 150.000 bph, dan RU VII Kasim berkapasitas 10.000 bph.
(azr/wdh)






























