“Kedua, terdapat kemungkinan bahwa tersangka hanyalah seorang imitator yang menggunakan nama terkenal untuk mendapatkan perhatian, fenomena yang cukup umum dalam dunia kejahatan siber,” ucap dia.
Ardi melanjutkan, ketiga, WFT mungkin merupakan bagian dari jaringan lebih besar dan beroperasi di bawah nama Bjorka. Lantas Ardi mendesak pihak kepolisian memverifikasi identitas pelaku dengan memerlukan analisis mendalam, baik dari sisi teknis maupun non-teknis.
Aspek teknis seperti digital fingerprinting, analisis infrastruktur, serta analisis perilaku, atau non-teknis, seperti pemeriksaan lebih jauh atas kesesuaian modus operandi, tingkat pengetahuan teknis, dan kemampuan akses terhadap target-target sebelumnya.
Menurut Ardi, tantangan utama dalam investigasi ini terletak pada kompleksitas identifikasi akibat penggunaan alat-alat anonimitas, kemungkinan operasi penyamaran identitas, serta cakupan internasional dari kejahatan siber. Implikasi dari penangkapan ini juga bergantung pada autentisitas pelaku.
“Jika benar Bjorka asli, hal ini menunjukkan efektivitas upaya penegakan hukum siber Indonesia dan berpotensi mengurangi ancaman terhadap infrastruktur digital nasional. Namun, tetap perlu waspada terhadap kemungkinan pembalasan dari kelompok lain,” ujar Ardi.
“Sebaliknya, jika bukan Bjorka asli, ancaman sebenarnya masih ada dan memerlukan investigasi lanjutan untuk mengidentifikasi pelaku sesungguhnya.”
Ke depannya diperlukan verifikasi menyeluruh melalui analisis forensik digital komprehensif, koordinasi dengan lembaga keamanan siber internasional, pemantauan aktivitas siber secara berkelanjutan, serta peningkatan kapasitas investigasi siber nasional.
(far/wep)

































