Sementara, proyeksi produksi beras nasional menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Januari sampai November diperkirakan mencapai 33,19 juta ton atau meningkat 3,72 juta ton dibandingkan periode yang sama di 2024. Kendati demikian, angka produksi beras bulanan menunjukkan tren melandai mulai Oktober sampai Desember.
"Kalau produksi itu di bawah konsumsi setara beras, artinya ada shortage [kekurangan] di lapangan, sehingga harga gabah akan lebih tinggi. Begitu harga gabah tinggi akan berimbas juga pada harga beras di masyarakat. Nah, di situ pemerintah masuk, sehingga seperti Bank Indonesia yang melakukan intervensi saat currency mengalami kenaikan di atas," ujar Arief.
Per 3 Oktober, dalam data yang dihimpun NFA, total stok beras yang dikelola Bulog masih ada 3,89 juta ton. Total penyaluran CBP ke masyarakat melalui berbagai program telah mencapai 886,4 ribu ton. Sementara realisasi pengadaan setara beras dari produksi dalam negeri telah Bulog laksanakan hingga mencapai 3,002 juta ton.
Meskipun Bulog telah melampaui target serap 3 juta ton sebagaimana Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2025, pemerintah melalui NFA telah menugaskan kembali Bulog untuk menyerap hasil panen gadu. Penyerapan harus tetap dilaksanakan, terutama di daerah yang mengalami harga gabah kering panen di tingkat petani kurang dari Rp6.500 per kg.
Adapun dalam rilis terbaru dari BPS, tingkat kesejahteraan petani dapat terlihat pada indeks Nilai Tukar Petani (NTP). Khusus pada subsektor pangan (NTPP), mencatatkan raihan positif di level 113,95 di September 2025. Ini merupakan NTPP tertinggi sepanjang 2025 dan juga tertinggi sejak April tahun lalu.
Sementara daya beli masyarakat sebagai konsumen masih terjaga dengan baik. Inflasi umum, baik secara tahunan dan bulanan, masing-masing berada di 2,65% dan 0,21%. Untuk inflasi harga bergejolak (volatile food) atau inflasi pangan berada di 6,44% secara tahunan dan 0,52% secara bulanan.
(ain)































