Hanya Panduan
Laode menyatakan, dalam memfasilitasi Pertamina dan BU swasta untuk membahas rencana jual–beli base fuel tersebut, Kementerian ESDM hanya berperan mengatur spesifikasi RON dalam BBM.
Dia juga mengklaim etanol yang terkandung dalam BBM merupakan hal yang wajar, terlebih di negara-negara maju BBM yang digunakan sudah banyak yang mengandung etanol.
“Namun, bukan berarti tidak berada di dalam toleransi. Jadi itu sih perbedaannya. Sebenarnya etanol sendiri kan salah satu biofuel ya. Jadi di negara-negara lain malah etanol ini sudah ada mereka elementasinya. Kalau kita kan baru biodiesel, bioetanol belum,” ucap Laode.
Ditemui di lokasi yang sama, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim proses perundingan yang dijalankan Pertamina dengan BU swasta masih berlanjut hingga saat ini.
Bahlil juga enggan mengungkapkan perkembangan proses perundingan tersebut, tetapi dia menyatakan proses sedang berlanjut dan Kementerian ESDM hanya memberikan panduannya saja.
“B2B-nya silakan. Kami hanya memberikan guidance. Selebihnya diatur. Jadi tidak ada alasan dan tidak ada satu persepsi bahwa BBM kita, ketersediaan kita menipis. Enggak ada. Udah penuh. Semuanya ada. Kuota impornya pun kita sudah berikan sesuai dengan apa yang disampaikan sebelumnya,” ucap Bahlil.
Praktik Lazim
Di tempat terpisah, Pertamina Patra Niaga (PPN) angkat bicara soal polemik yang belakangan muncul terkait dengan campuran etanol dalam BBM dasaran atau base fuel di tengah masyarakat.
Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth MV Dumatubun mengatakan campuran etanol itu hal yang biasa dalam bisnis BBM.
oberth menerangkan kandungan etanol dalam base fuel itu juga diterapkan di sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Brasil, hingga Thailand.
“Penggunaan BBM dengan campuran etanol hingga 10% telah menjadi best practice di banyak negara seperti di Amerika, Brasil, bahkan negara tetangga seperti Thailand,” kata Roberth melalui siaran pers, Kamis (2/10/2025).
Selain itu, Roberth menambahkan, campuran etanol itu juga diadopsi sebagian negara untuk mendukung program pengurangan emisi karbon.
“Bagian dari upaya mendorong energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mendukung pengurangan emisi karbon,” kata Roberth.
Di sisi lain, Roberth menekankan pentingnya ruang negosiasi yang saling menghormati terkait dengan pengadaan base fuel tersebut dengan operator jaringan SPBU swasta.
“Kami memastikan seluruh produk BBM yang disalurkan sesuai dengan spesifikasi resmi pemerintah serta mekanisme pengadaan yang berlaku,” tuturnya.
Sebelumnya, PPN mengungkapkan PT Vivo Energi Indonesia batal membeli base fuel sebesar 40.000 barel yang telah telanjur diimpor oleh perseroan, sebab terdapat kandungan etanol sebesar 3,5% dalam BBM tanpa campuran aditif dan pewarna tersebut.
Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Achmad Muchtasyar mengungkapkan, hingga Jumat (26/9/2025), sudah terdapat dua operator SPBU swasta yang sebenarnya berminat membeli base fuel yang telah diimpor perseroan, yakni Vivo dan BP-AKR.
Dalam perkembangannya, setelah melakukan negosiasi secara bisnis ke bisnis atau business to business (B2B), BP-AKR dan Vivo membatalkan untuk melanjutkan pembelian BBM tersebut sebab setelah dilakukan pengecekan terdapat kandungan etanol sebesar 3,5% dalam base fuel tersebut.
“Kontennya itu ada kandungan etanol. Nah, di mana secara regulasi itu diperkenankan. Kalau tidak salah sampai 20% etanol,” ucap Achmad dalam rapat dengar pendapat dengan operator SPBU swasta dan Dirjen Migas ESDM di DPR, Rabu (1/10/2025).
“Ini yang membuat kondisi teman-teman SPBU swasta untuk tidak melanjutkan pembelian karena ada konten etanol tersebut,” lanjut Achmad.
Dalam kaitan itu, Achmad mengungkapkan bahwa operator SPBU swasta membutuhkan total 1,2 juta barel base fuel dengan nilai oktan (RON) 92 dan 278.000 barel base fuel dengan nilai oktan 98.
(azr/wdh)






























