Trump, dalam konferensi pers bersama Netanyahu di Washington, mengatakan kedua pemimpin “benar-benar melakukan percakapan dari hati ke hati” yang dinilainya “produktif.”
“Israel menargetkan teroris,” ujar Netanyahu pada kesempatan yang sama. “Bukan menargetkan Qatar.”
Pernyataan ini menjadi langkah mundur bagi Netanyahu, yang sebelumnya mengancam Qatar dengan serangan lebih lanjut jika negara itu tidak mengusir atau mengadili pejabat Hamas yang bermukim di sana.
Kunjungan Netanyahu ke Gedung Putih juga dimanfaatkan untuk membahas perang di Gaza. Trump mengatakan Netanyahu telah menyetujui rencana 20 poin yang ia tawarkan untuk mengakhiri konflik, menyebutnya sebagai “hari bersejarah bagi perdamaian.”
Seorang pejabat yang mengetahui jalannya perundingan menyebut Qatar sempat menuntut permintaan maaf resmi sebelum kembali berperan sebagai mediator antara Israel dan Hamas.
Serangan udara Israel ke sebuah kompleks perumahan di Doha pada 9 September lalu menimbulkan kepanikan dan menewaskan lima pejabat Hamas serta seorang petugas keamanan Qatar. Namun, tidak ada tokoh senior Hamas yang menjadi target Israel dilaporkan tewas.
Gedung Putih menyatakan Trump yang mengatur panggilan telepon pada Senin itu untuk “menempatkan hubungan Israel-Qatar kembali ke jalur positif setelah bertahun-tahun diliputi keluhan dan miskomunikasi.”
Serangan tersebut sempat menggagalkan pembicaraan perdamaian Gaza dan menjadi pukulan telak bagi upaya AS menormalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab Teluk. Qatar, bersama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, mengecam keras serangan itu.
Qatar, yang dikenal sebagai negara kaya gas alam, merupakan sekutu penting AS sekaligus tuan rumah pangkalan militer terbesar Amerika di Timur Tengah. Trump mengaku terlambat mengetahui rencana serangan Israel sehingga tidak sempat menghentikannya.
Axios pertama kali melaporkan kabar permintaan maaf Netanyahu kepada Qatar.
(bbn)

































