Akan tetapi, Bahlil enggan memastikan apakah impor BBM yang dilakukan Pertamina berasal dari Amerika Serikat (AS) atau tidak.
Sebelumnya, padahal, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyatakan impor BBM yang dilakukan akan berasal dari AS lantaran berkaitan dengan realisasi kesepakatan negosiasi tarif resiprokal, di mana RI wajib membeli komoditas migas AS senilai US$15 miliar.
Menurut Bahlil, sumber BBM yang akan diimpor Pertamina tidaklah penting berasal dari mana. Hal yang terpenting, tegasnya, adalah bahwa BBM tersebut akan tersedia dalam waktu tujuh hari di SPBU swasta.
“Jangan tanya dari mana, yang penting 7 hari barang sudah kembali ke Indonesia,” ucap Bahlil.
Bahlil juga belum dapat mengungkapkan volume impor yang dilakukan oleh Pertamina serta kebutuhan BBM dari masing-masing badan usaha (BU) hilir migas tersebut.
Dia menegaskan akan terdapat rapat teknis lanjutan yang dilakukan kementeriannya bersama seluruh operator SPBU untuk memastikan volume impor tersebut.
“Volumenya nanti ditentukan. Nanti dilakukan bahasan teknis. [Hal] yang jelas 7 hari barang ini sudah jalan,” tegas Bahlil.
Hari ini, Kementerian ESDM kembali mengadakan rapat dengan BU swasta untuk membahas sengkarut kekosongan BBM di SPBU serta tarik-ulur rencana “kolaborasi” alias jual-beli bensin dengan Pertamina.
Adapun, SPBU swasta yang turut hadir dalam rapat tersebut a.l. perwakilan dari Shell Indonesia, BP-AKR, Vivo, Exxon, serta AKR Corporindo.
“[Hasil rapat] yang pertama adalah mereka setuju dan memang harus setuju untuk beli di kolaborasi dengan Pertamina. Syaratnya [yang pertama] adalah [BBM yang dijual ke BU swasta] harus berbasis fuel base, tidak dicampur-campur,” ujar Bahlil.
Kedua, Bahlil memastikan kualitas BBM Pertamina yang dijual ke SPBU swasta harus melalui uji kualitas yang dilakukan oleh joint surveyor yang disepakati bersama.
“Agar tidak ada dusta di antara kita. [...] Jadi barang sebelum berangkat, ada surveyor yang sama-sama disetujui di sana [untuk mengecek kualitas BBM].”
Ketiga, terkait dengan harga, Bahlil menegaskan pemerintah ingin sekalipun Pertamina diberikan tugas untuk memasok BBM ke SPBU swasta; mekanisme penetapan harga jualnya harus tetap adil.
“Enggak boleh ada yang dirugikan. Kita ingin swasta maupun Pertamina sama-sama ‘cengli’. Harus semua terbuka, dan setelah setuju juga terjadi open book. Dan ini teman-teman dari swasta juga sudah setuju,” tegasnya.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan tambahan kuota impor BBM periode 2025 untuk perusahaan SPBU swasta seperti Shell dan BP-AKR mencapai 7.000—44.000 kl.
Jumlah tersebut merupakan tambahan 10% dari kuota impor yang diberikan pada tahun lalu. Angka tersebut juga terpaut jauh dengan tambahan volume impor BBM yang didapatkan PT Pertamina Patra Niaga untuk tahun ini, yaitu sekitar 613.000 kl.
Dengan begitu, jika mengacu pada volume tambahan kuota 2025 sebesar 10% dari total kuota 2024 dan dibandingkan dengan unit SPBU yang dimiliki, dapat diasumsikan bahwa realisasi impor BP-AKR pada 2024 adalah sekitar 70.000 kl.
Sebab, per akhir Maret 2025, perseroan telah mengoperasikan 64 SPBU di Indonesia secara kumulatif.
Sementara itu, Shell Indonesia dapat diasumsikan mencatatkan realisasi impor BBM pada 2024 sekitar 440.000 kl. Terlebih, Shell tercatat mengoperasikan sekitar 215 SPBU di Indonesia.
KPPU juga mengungkapkan pangsa pasar Pertamina Patra Niaga dalam segmen BBM nonsubsidi tercatat sekitar 92,5%, sedangkan perusahaan SPBU swasta hanya berada pada kisaran 1%—3%.
(azr/wdh)






























