Logo Bloomberg Technoz

Apa boleh buat, dolar AS memang terlalu kuat. Kemarin, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,5% ke 97,355. 

Dollar Index (Sumber: Bloomberg)

Penguatan dolar AS terjadi akibat respons investor terhadap hasil rapat bank sentral Federal Reserve kemarin. Gubernur Jerome ‘Jay’ Powell dalam konferensi pers usai rapat mengeluarkan pernyataan yang dinilai kurang dovish.

Powell menyebut pihaknya akan terus memantau perkembangan inflasi, yang berisiko naik akibat kebijakan tarif. Oleh karena itu, The Fed akan memonitor situasi dari rapat ke rapat untuk menentukan arah kebijakan moneter.

Perkembangan ini membuat investor sedikit kurang yakin mengenai seberapa agresif The Fed bakal memangkas suku bunga acuan. Kegalauan investor kemudian dituangkan dengan membeli dolar AS.

“Dolar mengalami tekanan jual persis setelah pengumuman hasil rapat The Fed (Federal Reserve, bank sentral AS). Namun kemudian dolar diborong lagi karena ada ekspektasi The Fed hanya akan menurunkan suku bunga acuan sekali tahun depan. Ini dipandang sebagai posisi (stance) yang cukup hawkish,” papar Takeru Yamamoto, Trader di Sumitomo Mitsui Trust Bank Ltd, seperti dikutip dari Bloomberg News.

Rupiah dipandang sebagai mata uang paling sensitif. Sebab, Bank Indonesia (BI) baru saja kembali menurunkan suku bunga acuan pekan ini.

“Penguatan dolar AS terjadi secara luas, sulit membayangkan mata uang Asia bisa lolos. Beberapa mata uang dengan beta tinggi seperti won Korea Selatan atau rupiah mungkin menjadi yang paling sensitif. Dengan kebijakan terbaru di Indonesia, rupiah bisa jadi menjadi yang paling terdampak,” tegas Brendan McKenna, Emerging Markets Strategist di Welll Fargo Securities LLC, juga diberitakan Bloomberg News.

Sentimen Domestik

Selain faktor eksternal yaitu dolar AS yang sedang perkasa, rupiah juga dinilai terbebani sentimen domestik. Sepertinya pasar bereaksi terhadap pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Pemerintah dan Badan Anggaran DPR sepakat menaikkan defisit RAPBN 2026 dari 2,48% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 2,68%.

“Menurut kami, revisi defisit RAPBN 2026 menjadi 2.68% PDB lebih realistis. Namun, risiko defisit melebar lebih lanjut tetap tinggi, terutama bila target penerimaan pajak tidak tercapai seperti pada tahun ini,” tulis riset Mega Capital Sekuritas.

Oleh karena itu, lanjut riset tersebut, ada kemungkinan defisit fiskal tahun depan bisa melebihi batas 3% PDB. Kekhawatiran ini amat dirasakan oleh investor asing yang memicu arus modal dan depresiasi rupiah.

“Kami memperkirakan rupiah masih akan terdepresiasi hari ini menuju rentang Rp 16.550-16.650/US$,” tambah riset Mega Capital Sekuritas.

(aji)

No more pages