Lebih lanjut, Anto juga memandang nikel akan makin diminati oleh pasar global sebab dibutuhkan untuk pembangunan pusat data seiring meningkatnya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Selain itu, Anto meyakini permintaan nikel untuk sektor energi hijau akan meningkat seiring meningkatnya pembangunan turbin.
Dalam kaitan itu, ia mengklaim perseroan memiliki nikel yang diproses secara rendah karbon akibat memanfaatkan energi hidro dalam pemrosesan bijih nikel tersebut. Hal itu telah sesuai dengan standar beberapa negara di dunia.
“Ini sesuai dengan kebutuhan supply chain rendah karbon di beberapa negara,” klaim dia.
Untuk diketahui, korporasi menargetkan produksi nickel matte sebanyak 71.234 ton sepanjang tahun ini dan telah terealisasi sebesar 35.584 ton sepanjang semester I-2025.
Direktur Keuangan INCO Rizky Andhika Putra menjelaskan menjelaskan produksi nickel matte sepanjang semester I-2025 sebesar 35.584 ton tumbuh sebesar 12% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu sejumlah 34.774 ton.
Sementara itu, harga realisasi rata-rata nickel matte pada kuartal II-2025 mencapai US$12.091 per ton, naik tipis dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang senilai US$11.932. Hal tersebut, menurutnya, dipengaruhi meningkatnya volume pengiriman nickel matte yang dilakukan perseroan.
“Di mana ini [rata-rata realisasi harga nickel matte] merupakan penurunan sekitar 10% jika dibandingkan dengan periode yang dimulai sebelumnya,” ucap Rizky dalam kesempatan yang sama.
Khusus pada kuartal II-2025, INCO telah menjual 18.023 ton nickel matte. Realisasi penjualan ini lebih tinggi dari kuartal sebelumnya di level 17.027 ton.
Adapun, pada kuartal II-2025, INCO mencatatkan laba bersih US$3,5 juta atau anjlok tajam 86% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (quarter to quarter) sebesar US$21,8 juta.
Selanjutnya, pendapatan perusahaan naik 6,6% menjadi US$220,2 juta jika dibandingkan dengan kuartal I-2025 sebesar 206,5 juta. Dalam kaitan itu, perusahaan mencatat EBITDA sebesar US$40 juta atau turun 6,6% dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar US$51,7 juta.
Persaingan Ketat
Kalangan pakar meyakini kompetisi pasar baterai kendaraan berbasis litium dan nikel akan makin ketat di pasar global, kendati baterai berbasis natrium/sodium juga mulai dikembangkan.
Dalam kaitan itu, Asosiasi Ekosistem Baterai Indonesia (AEBI) memandang baterai EV berbasis NMC masih akan menjadi primadona di Indonesia, sejalan dengan pasokan nikel yang melimpah di negara ini.
Akan tetapi, baterai LFP tetap akan menjadi pesaing ketat di pasar dalam negeri lantaran memiliki keunggulan tersendiri dari baterai MNC, menurut Ketua AEBI Reynaldi Istanto.
“Masih berkembang dua-duanya sama. Jadi keduanya hari ini sama-sama memiliki keunggulan masing-masing nikel dan litium itu sama-sama berkembang. Hari ini kondisinya 50:50. Tentu ini kita paling tidak di market kita sendiri harus kita dorong yang berbasis nikel,” kata Reynaldi ditemui di sela International Battery Summit, Agustus.
Reynaldi menyebut Indonesia merupakan pasar potensial untuk EV, di mana kendaraan roda empat di Tanah Air diprediksi mencapai 30 juta dan kendaraan roda dua bisa mencapai 130 juta unit.
(azr/wdh)
































