“Tidak heran karena memang suku bunga di Amerika cukup tinggi. Buat apa mereka beli bond Indonesia dengan FX yang seperti ini,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan pelemahan rupiah tidak bisa diperbaiki hanya dalam jangka menengah. Solusinya, menurut Gioshia, ada pada fundamental ekonomi, khususnya perbaikan birokrasi dan peningkatan produktivitas.
Sebagai perbandingan, ia menyebut Vietnam yang lebih cepat dalam proses pendirian industri sehingga mampu menyerap investasi dengan lebih efisien.
“Makanya di sana kapasitasnya habis, yang sisa baru ke sini. Itu sebabnya rupiah perlu waktu,” jelasnya.
Sementara itu, Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Indonesia, Henry Wibowo, menambahkan faktor eksternal juga berpengaruh pada rupiah, khususnya tren dolar AS.
“Pandangan kita 12 bulan ke depan adalah untuk tren USD melemah. Jadi makanya forecast akhir tahun ini adalah Rp16.100,” ungkap Henry.
Mengacu data Refinitiv, rupiah pada Kamis (4/9) ditutup melemah tipis 0,03% di level Rp16.415 per dolar AS. Dalam perdagangan intraday, rupiah sempat menyentuh Rp16.455 per dolar.
Secara akumulatif sepekan terakhir, rupiah melemah 0,42%. Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 15.00 WIB tercatat naik 0,13% ke posisi 98,27.
(dhf)

































