"Saham-saham besar seperti BBCA justru lebih mencerminkan kondisi ratusan saham lain di BEI yang juga banyak turun," jelasnya.
Paradoks ini semakin terasa dengan keluarnya investor asing dari pasar domestik. Data per 29 Agustus 2025 mencatat net sell asing mencapai Rp51 triliun sejak awal tahun, salah satu yang terbesar dalam sejarah. Tekanan jual dari asing membuat banyak saham fundamental tertekan, meski IHSG terlihat stabil di kisaran 7.800—8.000.
Menurut Teguh, situasi tersebut justru berbahaya dalam jangka panjang. Seharusnya setiap kali IHSG turun biasanya ada smart money yang masuk. Tapi karena indeksnya tidak turun, justru smart money memilih keluar, melihat kondisi ini tidak wajar.
Ia menambahkan, jika situasi unjuk rasa di dalam negeri berkepanjangan, dampaknya akan menggerus kepercayaan investor global. Infrastruktur rusak, aktivitas ekonomi terganggu, dan kinerja fundamental emiten bisa makin tertekan.
"Jadi meski IHSG terlihat aman, mayoritas saham bisa terus melorot, dan ekonomi riil tetap akan terkena dampaknya," kata Teguh.
Diprediksi Masih Melemah
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berpotensi mengalami pelemahan di tengah ketidakpastian politik yang belum mereda.
Penggiat Pasar Modal Indonesia, Reydi Octa, menilai pergerakan indeks yang sempat tenang pada perdagangan hari ini belum bisa dijadikan indikator pemulihan.
“Pelemahan masih berpotensi selama ketidakpastian politik belum mereda. Perdagangan hari ini belum cukup untuk dijadikan indikator pemulihan, kita bisa perhatikan arus dana asing hari ini dan besok seperti apa,” jelasnya, Selasa (2/9/2025).
Menurut Reydi, momentum gap down pada pembukaan perdagangan saham-saham perbankan besar yang kemudian berbalik rebound hanya relevan sebagai target trader jangka pendek.
Ia menambahkan, selain faktor politik, sejumlah isu eksternal juga patut dicermati investor. “Faktor yang perlu diperhatikan selain gejolak politik yang terjadi belakangan adalah kebijakan suku bunga The Fed di bulan September ini yang memberikan sinyal penundaan pemangkasan suku bunga, nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap USD, serta naik turunnya harga komoditas,” ujarnya.
Sementara itu, Ahli Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy, berpendapat faktor eksternal tidak akan menjadi penentu utama bagi pergerakan IHSG.
“Faktor eksternal kalaupun ada, tidak akan dominan. Saya pikir, jika kondisi sudah kondusif dengan tidak ada lagi korban, penjarahan, atau pembakaran, indeks akan tidak turun banyak lagi,” kata Budi.
***Dengan asistensi Recha Tiara Dermawan
(dhf)































